PESTA DEMOKRASI
Adalah
Martha Siahaya Putaain, Santosa Burhan Yadi dan Jimmy Kareem yang akhirnya
muncul sebagai putra-putri terbaik di sekolah itu. Putra-putri yang mewakili
kelas masing-masing.
Maya,
demikian nama panggil Martha Siahaya Putaain adalah seorang gadis berdarah
Ambon, Portugis dan Belanda. Sedangkan Burhan atau sering mereka singkat
namanya dengan SBY adalah keturunan Jawa asli dari Semarang. Dan Jeka panggilan
karib Jimmy Kareem adalah anak Medan keturunan Arab.
Maya
dan Jeka mewakili kelas Ilmu Sosial, sedangkan SBY merepresentasi kelas Ilmu
Pasti Alam. Mereka terpilih sebagai calon ketua osis sekolah mereka. Mereka
akan bertarung beradu argumentasi. Mereka juga beradu program untuk menjadi orang nomor satu di sekolah mereka yang kesohor
itu.
Seleksinya
diawali dari seleksi berkas/administrasi. Seperti: Sertifikat-sertifikat dalam berorganisasi, latihan dasar
kepemimpinan. Kemampuan akademik, yaitu setiap kontestan harus memiliki nilai
rata-rata minimal tujuh koma lima.
Keterampilan
dan kapabilitas memimpin yakni kefasihan dalam berkomunikasi. Baik dalam
bahasa Indonesia atau bahasa asing, terutama bahasa Inggris serta kemampuan
fisik. Kesehatan.
Mereka
haruslah sempurna, fisik dan psikis. Tidak boleh ada yang cacat sedikitpun.
Itulah aturan main yang berlaku turun temurun di sekolah mereka. Sebuah sekolah
nasional plus. Namanya Sekolah Dan
Hobi,
yang mereka singkat, eSDeHa.
Masing-masing
kontestan dengan para pendukungnya melakukan berbagai upaya. Upaya untuk bisa
meyakinkan para pemilih. Mereka membuat berbagai atribut yang mewakili visi
misi andalannya.
Mulai
bendera, spanduk, pin, termasuk juga foto para kandidat. Atribut-atribut itu
dipajang di mana-mana di seluruh area sekolah. Ini benar-benar sebuah pesta
demokrasi. Layaknya pemilihan legislatif dan/atau pemilihan presiden di NKRI.
Meriah. Colorfull.
Maya
dan pendukungnya memilih warna dasar merah untuk benderanya. Itu melambangkan
keberanian yang sejati. Sedangkan SBY dan koleganya memutuskan untuk memakai warna biru. “Ini warna
ketulusan,” desis mereka. Dan JK melingkupi diri dan kelompoknya dengan warna
kuning. Sebuah warna yang melambangkan kemakmuran dan kebijaksanaan. Ah, luar
biasa!
Setelah
segala persiapan dilaksanakan, mereka memasuki etape berikut yaitu kampanye.
Sebelum itu, dengan tekad bulat bersatu dan kesadaran penuh, mereka melakukan
apa yang mereka namakan penandatanganan deklarasi kampanye damai.
Butir-butir
yang terkandung di dalamnya adalah: (1) masing-masing kontestan harus
meyakinkan pengikutnya untuk tidak bertindak anarkis, amoral dan semua yang
bersifat destruktif; (2) tidak diperkenankan menghina kontestan tertentu dengan
alasan apapun; (3) setelah pemungutan suara dan penghitungan suara selesai
dilaksanakan, semua kontestan harus menerima dengan lapang dada dan besar hati apapun hasilnya. Menang atau pun kalah.
Hari
kampanye itu pun tiba.
Semua
kontestan hanya diperkenankan untuk berorasi pada hari yang sama. Dalam satu
hari yang sama serta di tempat yang sama pula. Di auditorium
lantai empat belas. Semua guru dan pejabat sekolah diundang untuk menyaksikan.
Dua
pejabat penting yang mutlak harus hadir adalah Pembina Osis dan Kepala Sekolah.
Mr. Hans Dony A Sui sebagai Pembina Osis, seorang guru oportunis yang penjilat
telah mengatur
semuanya. Ia telah mengatur
agar Mr. Sonny
Budhi Yacky, M.Pd., hadir.
Semoga sang Kepala
Sekolah yang berkarakter gampang termakan hasutan, tak berpendirian dan
kehilangan nalar bila dipuji itu hadir.
Motivasinya jelas agar ia tetap dipertahankan di posisinya. Agar di
tahun-tahun selanjutnya
ia tetap dipakai di sekolah ini.
Di sekolah yang berlambang burung gagak bermata lebar seperti
hantu.
Maka
sang Kepala Sekolah yang necis cenderung bencis gemulai ini pun hadir. Ia
datang dengan penampilan keren. Rambut klimis disisir miring kaku. Itu karena minyak
rambut warna hijau yang tak tertakar.
Pakaian
penuh corak warna yang tak bersahabat. Semuanya dilakukan demi menunjukkan rasa
adil yang paling norak pada semua kontestan. Jas berwarna biru langit. Hem merah
darah. Celana kuning menyala. Dasi hijau muda. Sepatu putih metah.
Semua meriah melekat di tubuhnya.
Demi
lancar dan mengalir jalannya kampanye, Ms. (baca:
miss) Wulan Si Kutu Busuk menjadi Pembawa Acara. Dan juga sebagai moderator sekaligus. Nama sebenarnya
adalah Wulan Sri Kwat Besoekie.
Cuma
sikapnya
sangat bermuka dua dan berhati ular
maka anak muridnya menjuluki dia demikian. Ia membacakan
tata tertib seperti yang sudah disepakati. Juga agenda
yang harus dilalui hari itu dalam masa kampanye tersebut.
Ia
pun memperkenalkan semua pejabat yang hadir. Itu salah satu
triknya
mencari muka. Semua guru serta anggota grup musik siswa juga diperkenalkan.
Tak lupa pula ia memperkenalkan pemimpin orkestra. Tak lain tak bukan adalah guru musik yang
sangat berbakat.
Ia
tidak hanya bertalenta dalam hal bermusik. Ia sangat
bertalenta menjilat dan juga bertalenta memanipulasi data demi keuntungan
pribadi. Intinya, di mana ada keuntungan sebesar-besarnya bagi dirinya, di situ
dia ada.
Tak
perduli itu melanggar norma sosial, norma hukum, bahkan norma agama, ia akan
lakoni. Hatinya mirip Lusifer, si malaikat penyombong yang dimurkai Tuhan. Lalu dibuang
ke dunia dan akhirnya menjadi iblis menakutkan menyebalkan.
Ia
menyebut nama sang guru musik itu dengan cara tertentu. Seperti seorang MC top dunia
memanggil artis papan atas atau seorang atlet profesional kenamaan. “Inilah
dia, the one and only music teacher we belong. A very talented person, miiisteeerrr...
Ignatius Lotar Latu Laten.”
Dan
semua pun bertempik sorak riuh menggelegar. Meriah. Dengan serta merta yang
diperkenalkan nyengir sumringah.
Ia membuka kedua tangan lebar-lebar lalu membungkukkan
badan dengan cara yang artifisial. Palsu.
Sang
MC lalu memanggil masing-masing kontestan untuk memulai kampanye. Dan sesuai
dengan nomor undian yang sudah diambil, Maya mendapat giliran pertama. Urutan berikut
adalah SBY dan terakhir, Jeka.
Sebelum
para kontestan menguraikan visi dan misi mereka, Pembina Osis, Mr. Hans Dony A
Sui melaporkan kegiatan tersebut. Ia melakukannya dengan lagak mencari muka
yang kental yang lazim kepada yang terhormat Bapak Kepala Sekolah.
Di
akhir penyampaiannya, ia berkata dengan sangat pura-pura santun: “Selanjutnya,
kami mohon dengan segala hormat kepada Bapak Mister Sonny
Budhi Yacky, M.Pd. selaku Kepala Sekolah untuk menyampaikan sepatah kata dua,
sekaligus membuka secara resmi.”
Syahdan
sang Kepala Sekolah yang terhormat berkata bergaya pejabat zaman Orde Baru. Suaranya ditekan agar kedengaran berwibawa. Ia
berbasa-basi yang paling basi. Ia
memboroskan macam-macam kata salam khas orang Indonesia. padahal intinya
sama. Ia
pun berujar dalam nada serius.
Katanya:
“Ini adalah merupakan suatu kegiatan-kegiatan yang betul-betul bermanfaat bagi
perkembangan jiwa, emosi dan sosial anak-anak sekalian. Maka sudah barang tentu
saya selaku daripada kepala sekolah di sini berharap bahwa melalui kegiatan
ini, anak-anak, para kontestan benar-benar dapat menampilkan daripada suatu
ide-ide yang membangun. Suatu kreasi-kreasi baru melalui suatu program-program
yang canggih sehingga bisa menjadi suatu bahan pembelajaran-pembelajaran daripada
adik-adik kelasmu kelak. Dan walaupun nanti kalian akan harus berperang dalam
tanda petik, kita semua berharap agar semoga tidak akan terjadi suatu
kondisi-kondisi yang mana tidak kita inginkan bersama. Maka daripada itu,
sekali lagi, saya himbau dan minta sungguh-sungguh agar supaya kita betul-betul
jaga daripada lingkungan sekolah kita yang mana demi menciptakan suatu
keadaan-keadaan yang kondusif.”
Ia
berbicara seperti mobil yang sedang melaju menuruni gunung curam dengan rem
yang blong. Ia terus mengucapkan
kata-kata yang berulang-ulang tanpa makna yang bisa dipetik.
Para
pendengar pun terkantuk-kantuk dibuatnya. Kecuali sang Pembina Osis, MC dan
Pemimpin Orkestra. Mereka duduk di
kursi barisan paling depan. Mereka kelihatan
mengangguk-angguk taksim.
Mereka
bertiga mengangguk-angguk entah mengerti entah mual! Tidak ada yang tahu. Kecuali mereka, Tuhan Yang Mahaesa dan setan yang
mahamulti. Tapi itu bukan hal utama. Bagi mereka, yang penting bos
senang. Titik.
Arkian,
ia
menyatakan
perasaan dan tingkah jemawa berlagak seperti manusia setengah dewa. Ia pun membuka
acara tersebut dengan melafaskan kata-kata sakral yang biasa: “Atas nama Tuhan
Yang Mahaesa, saya membuka
daripada acara ini secara resmi. Tok..Tok..Tok..!”
Tepuk
tangan gegap gempita para hadirin pun membahana. Gemuruh
di seluruh ruangan tersebut membawanya kembali ke tempat
duduk semula. Ia
kembali menempati singgasananya dengan sikap tak asli. Artifisial belaka.
“Terima
kasih kepada bapak Kepala Sekolah yang terhormat, mister Sonny Budhi
Yacky, M.Pd.,
yang telah memberikan wejangan-wejangannya yang padat berisi penuh makna dan
bermanfaat bagi kami semuanya. Hadirin sekalian, mari kita beri aplaus yang paling meriah sekali lagi.”
Terdengar
pujian palsu yang menjilat keluar dari mimik kekaguman yang dibuat-buat. Pujian itu menjalar
melalui pengeras suara ke telinga pendengar. Deru tepuk tangan kembali
menggema.
Lalu
sang MC melanjutkan: “Kita sampai pada acara yang sesungguhnya, yaitu kampanye.
Saatnya kita persilakan para kandidat untuk mempersiapkan diri. Dan kita mulai
dari urutan nomor satu, Maya!” Lagi-lagi tepuk tangan meriah menggelegar.
Ketika
tampil, Maya berkata, “Di sekolah kita tercinta ini masih terdapat teman-teman
kita yang miskin. Miskin ide. Miskin kreativitas. Miskin perhatian. Miskin nilai yaitu nilai akademis dan nilai moral. Miskin perilaku
dan miskin-miskin lainnya. Nah, sayalah satu-satunya calon yang sangat concern
terhadap kelompok wong miskin ini.”
“Hidup
Maya! Maya, memang Te...O...Pe...be...ge...te
– top banget.” Para pendukungnya bersuara bersamaan dalam satu komando yang
kompak.
“Makanya,
pilih Maya. Pilih nomor satu. Satu-satunya perempuan calon pemimpin. Pemimpin
yang mengerti kondisi teman-teman wong
miskin. Sekali lagi, jangan ragu. Tentukan dan pilihlah saya.” Ia sangat
berapi-api. Lalu semua yang ada di dalam ruangan berseru, “Maya! Maya! Maya!
Maya!”
Yang
kedua tampil SBY. Lelaki santun nan kalem itu menempati podium kecil yang
bertengger anggun di tengah-tengah panggung. Ia
tampil dengan gayanya yang elegan. Dia menatap semua audiens. Menarik napas. Lalu menyapa
dan melontarkan ide-ide serta program-programnya.
Berkata
dia demikian: “Teman-teman! Mari kita lanjutkan program-program yang baik untuk membangun. Program yang
mengedepankan sekolah kita. Janganlah berpuas diri dengan keberadaan kita saat
ini. Teruslah berkreasi menghasilkan inovasi-inovasi baru demi kemajuan sekolah
kita.”
Para
pendukungnya menyambut dengan menyebut inisial namanya berkali-kali diujung
sorak sorai. Mereka
melambaikan bendera kelompoknya yang berwarna biru. Juga foto sang
kandidat dan atribut lainnya. Ia lanjutkan.
“Kita
bisa lebih maju dari sekolah-sekolah lain di seluruh negeri ini kalau kita
sehati, sepikir, sekata dan satu tindakan. Ya, bersama kita bisa!” Kembali
audiens bergemuruh. Atmosfir ruangan
pun dipenuhi dengan alunan melodi mirip iklan mie instan:
“eSBeYe....KETOS-ku.” Memang dia layak menjadi ketos - ketua osis - kita, gumam para siswa lainnya.
Kontestan
terakhir adalah Jeka. Pria muda penuh senyum ini melenggang ke atas panggung. Ia dihantar
ratusan pasang mata para hadirin sampai ia diam di podium. Gayanya sangat
bersahabat. Ia menatap keliling ruangan lalu menyapa dipoleshiasi senyumnya yang
khas.
“Menurut
saya, sekarang ini eSDeHa membutuhkan seorang pemimpin yang mampu bergerak dan
bertindak lebih cepat.
Cepat dalam menyikapi dan meresponi berbagai persoalan yang
timbul. Karena bagi saya, program hebat, fasilitas oke dan dukungan banyak akan
menjadi mubasir kalau pemimpinnya lamban menyikapi situasi sekolah kita. Maka
sekali lagi, bagi saya, lebih cepat lebih baik menuju eSDeHa yang kita
idamkan.”
Para
pendukungnya pun langsung berdiri meresponi ucapan-ucapan calon yang
diunggulkan. Mereka melontaran:
“Jeka...Jeka...Jeka...Jeka! Lebih cepat lebih baik.” Ucapannya dipenggal dengan
penekanan yang sangat kuat, mantap dan percaya diri.
Bagai
latah, semua hadirin ikutan berdiri dan menggemuruhlah tepuk tangan tak
putus-putus. Gemuruh menggema
di segenap penjuru auditorium lantai empat belas. Tempik sorak baru berhenti setelah sang kandidat
minggat dari panggung.
Selanjutnya
mikrofon diambil alih oleh MC.
Ms. Wulan Si Kutu Busuk lalu mempersilakan grup oskestra di bawah pimpinan Mr.
Ignatius Lotar Latu Laten.
Hanya dengan satu gerakan tangan yang sudah familiar anak-anak asuhnya langsung berespon.
Mereka
mengumandangkan beberapa lagu perjuangan untuk menyemangati para peserta.
Pertemuan berakhir. Pemilihan akan dilaksanakan beberapa hari kemudian. Para panitia
menyiapkan kertas suara yang akan digunakan untuk pemungutan suara.
Penghitungan
suara dilaksanakan kembali di ruang auditorium lantai empat belas. Semua
kandidat hadir. Pembina Osis, si oportunis dan Kepala Sekolah, si manusia
paling aneh bin
ajaib pun ada. Kepsek yang doyan
merelakan dirinya dijilat oleh oknum-oknum binaan-nya.
Setelah
penghitungan suara, ternyata SBY yang menang. Ia menang mutlak. Terpaut jauh
dengan pesaing-pesaingnya yang lain. SBY mengantongi kartu suara sebanyak 556 suara. Maya
memperoleh 115 suara.
JK hanya mendapat 77 suara. Totoalnya 822 kartu
suara yang dibagi ke seluruh siswa.
Maya
dan JK marah. Mereka tidak bisa menerima kenyataan ini. Mereka menganggap, Mr.
Hans Dony A sui dan Mr. Sonny
Budhi Yacky, M.Pd.,
telah memihak kepada SBY.
“Mereka
telah melakukan kecurangan dengan mendekati kelas-kelas tertentu untuk
memenangkan SBY.” Keluh
tim Maya dan JK. Hampir saja terjadi keributan yang tidak diinginkan. Untunglah
Maya dan JK cukup dewasa dalam mengkoordinir teman-teman pendukungnya. Kedua
orang ini melarang keras berbuat anarkis.
Sekalipun
demikian, mereka telah menyalahi kesepakatan DAMAI yang telah ditandatangani
bersama.
Ditandatangani oleh para kontestan dan para petinggi atau pejabat
sekolah sebelum kampanye. Yang paling parah adalah sepenggal pikiran yang muncul
dalam tubuh tim kandidat terkalah.
“Jangan-jangan si Pembosi,
Mr. Hans Dony A Sui dan Kepsek, Mr. Sonny Budhi
Yacky, M.Pd.,
telah menerima sogokan. Soalnya, kan dia berdua itu paling ijo kalau lihat
uang!” Kata salah seorang anggota tim yang tahu betul betapa kedua orang
tersebut sangat serakah. Mereka rakus
mengumpulkan harta bukan miliknya.
Harta terlarang.
Dilanjutkannya
lagi: “Lihat saja waktu penerimaan siswa baru. Dari sekian banyak peserta ujian
saringan masuk, hanya 4 orang yang lulus murni. Yang lainnya wajib ketemu
Kepsek. Dan setelah keluar dari ruangannya, keterangannya berubah menjadi
LULUS. Apalagi, kalau bukan duit yang bicara.” Ia menyampaikannya dengan cara
dan nada yang sangat ketus.
Tapi
mereka tidak mau berspekulasi terlalu jauh. Para kandidat terkalah pun
mengatakan secara berserah: “Ah, sudahlah. Biarlah itu menjadi urusan mereka
dan Tuhan. Tugas kita adalah mencari fakta dan kebenaran yang sesungguhnya.”
Makassar,
17 Agustus
2009
Comments
Post a Comment