PEREMPUAN (Sebuah Refleksi)
Sempurna
sekali mungkin tidak. Tapi di mata setiap mereka yang memandang, dia nyaris
sempurna. Nyaris tak bercacat. Nyaris tak bercela. Ia cantik berparas ayu.
Manis. Kulitnya mulus menggemaskan. Penampilan tubuhnya ideal bak badan biola. Sangat nyata lekak-lekuknya.
Dia memang seksi.
Bukan
hanya penampilan fisiknya yang yahud. Secara intelektual pun
ia nomor wahid. Ia cerdas. Jangkauan pemikirannya selalu di
depan sealur peradaban jaman. Ia cekatan. Tutur katanya tertata apik bernas
padat makna mengalir berbaris melintasi bibir manisnya kala berujar.
Ia
sangat responsif terhadap segala sirkumstansi. Ia sangat kaya dalam hal interpersonal skills. Ia adalah makhluk
ciptaan Tuhan yang telah beremansipasi. Dia dapat ditempatkan sebagai sosok perempuan yang hebat. Dan mungkin
luar biasa.
Kelebihannya
ia manfaatkan dengan baik. Ia sadar benar akan hal itu. Itulah yang membuatnya terkenal.
Karenanya ia tidak hanya diterima di kelompok tertentu saja. Ia malah dapat
merambah ke segala kalangan. Semua lapisan dalam strata dan latar balakang yang beragam.
Ia
sanggup beradaptasi dengan lingkungan manapun juga. Ia sanggup berkomunikasi
dengan lancar di tengah kaum intelektual atau para marginal. Di antara para
profesional atau kaum awam,
kelompok konglomerat atau proletar. Di sekeliling para
manula atau belia, kaum berdarah biru, ungu atau merah. Tak ada keraguan yang
mengganggunya dalam membina relasi. Ia luwes. Fleksibel.
Kalaupun
ada halangan yang mengganggu, dapat dipastikan datang dari luar dirinya. Gangguan
itu berasal dari lingkungan di mana ia berada. Rintangan yang biasanya muncul
dari istiadat setempat.
Sudah
menjadi suatu kebiasaan yang telah terinternalisasi bahkan berurat-akar dalam
setiap pranata sosial bahwa perempuan itu makhluk lemah. Dan oleh karena itu ia
harus berada di bawah komando
dan/atau perlindungan lelaki.
Ia
harus selalu ditopang. Dia harus melakukan segala aktivitas berdasarkan perintah. Tidak
boleh ada kreativitas. Tidak dibenarkan berimprovisasi. Dia bukan lagi seseorang pribadi yang
bebas. Ia
malah terpasung.
Ia
terpasung karena kekuatan yang lemah dari sebuah lingkungan. Dan yang sangat
menyedihkan adalah dia harus bersedia menjadi “sesuatu.” Sesuatu yang
dapat digunakan sesukanya oleh kaum adam. Sadis!
Entah
kapan keterpasungan itu dimulai. Yang pasti simpul itu telah terlepas terbuka.
Sudah tidak ada lagi perbedaan yang signifikan antara lelaki dan perempuan.
Kendati masih ada itu hanya bentuk fisik dan fungsinya. Sebuah perbedaan
yang memang secara kodrati haruslah demikian.
Perbedaan
yang sifatnya sangat alamiah seturut garis kehendak sang Khalik. Selebihnya
tidak. Seperti yang terdapat pada sosok perempuan yang sedang dikedepankan ini.
Perempuan yang bila disetujui, biarlah ia dinamai “EVA.” Seperti pada
awal penciptaannya. Ya, Eva memang perempuan yang cantik. Manis. Cerdas. Cekatan dan
pasti, seksi.
Namanya
hanya terdiri dari tiga huruf.
EVA. Dari sana tersirat suatu kesederhanaan. Kesederhanaan yang menyimpan
kekuatan. Sebuah kekuatan yang terbingkai dan terbungkus oleh keluwesan juga
kelemahlembutan.
Eva
dengan pribadi sederhana itu telah memasung perhatian seorang lelaki kokoh
bernama ADAM. Justru dari kelemahlembutan itu terpancar suatu kekuatan dahsyat. Kekuatan yang
membuat bertekuk lutut seorang Adam.
Dari
tutur katanya ia telah menghipnotis sang lelaki Adam. Adam terbius oleh
kesempurnaan yang dimiliki Eva. Sejak kapankah hal itu terjadi atas diri Adam?
Sejak pertemuan pertama. Kata orang: Cinta
pada pandangan pertama.
Dalam
keterbiusannya, Adam berusaha bangkit menyadarkan dirinya bahwa dia tidak
sepantasnya memiliki Eva. Eva terlalu tinggi untuknya. Tinggi dalam segala hal.
Eva jauh lebih tinggi dalam hal kecerdasan.
Ia
memiliki latar belakang pendidikan eS tiga lulusan luar negeri. Lulus dari
negara adidaya, Paman Sam. Sementara Adam, seperti iklan di layar kaca: “Membaca saja aku tidak sanggup.”
Eva
berasal dari keluarga makmur, kalau tidak mau dibilang kaya raya. Adam hanyalah
orang kebanyakan yang bisa makan hari ini, entah besok. Sang cantik Eva tidur
nyaman di atas spring bed empuk di
dalam rumah mewah laksana istana.
Sedangkan sang
lelaki Adam hanya sanggup meletakkan punggungnya di atas bale-bale bambu. Sebuah tempat yang
penuh dihuni kutu busuk. Ia tinggal di
dalam rumah yang tidak lebih baik dari sebuah kandang. Ah….
Memang
menyedihkan untuk terus mengingat dan membayangkan segala perbedaan itu.
Haruskah ia bertahan dalam mengejar bayangan semu itu? Entah! Tidak ada jawaban
pasti.
Dari
dalam hatinya ia hanya tahu satu hal mendasar yang manusiawi: Cinta. Cinta adalah
"pengetahuan" yang tidak perlu diperoleh melalui sekolah atau
perguruan tinggi.
Cukupkah
cinta itu? Dapatkah cintanya menjembatani semua gap yang menganga lebar di antara
mereka? Haruskah ia merelakan Evanya ke pangkuan dan pelukan Adam lainnya?
Naluri
dan nalarnya kejar mengejar saling mendahului dalam menentukan yang terbaik.
Sulit untuk dinalar. Tapi sederhana untuk dirasa. Manakah yang harus ia pilih?
Susah. Pelik. Rumit. Carut marut. Centang-perenang. Puntang-cerenang.
Semakin ia berpikir kencang semakin kusut dan buntu jadinya.
Sungguh
manis nian andaikan itu bisa terwujud.
Yaitu jika Adam dan Eva terbingkai dalam sebuah mahligai kasih yang abadi.
Adam hanya menerawang mengambang jauh di atas awang-awang. Sedemikian kuatnya
efek pertemuan itu.
Bagaimana
dengan Eva? Adakah ia merasakan hal yang sama dengan Adam? Sebagai manusia, ya.
Di dalam hatinya mesti ada yang namanya cinta. Tapi apakah cintanya itu untuk
Adam? Itu hanyalah sebuah misteri yang tak seorangpun tahu, kecuali si pemilik
cinta itu.
Dari
dasar hatinya yang paling dalam ia memang suka dengan Adam. Tapi apakah suka
yang datang dari dalam hati Eva artinya cinta? Lagi-lagi sesuatu yang sulit
diungkap. Tidak dapat dipungkiri
bahwa ada rasa suka di antara manusia lain jenis. Itu normal. Alamiah. Dari sono-nya memang begitu.
Pernah
dengan segala keluguannya Adam memberanikan diri bertanya pada Eva: “Do you love me? Satu-satunya kalimat
bahasa Inggris yang ia tahu artinya dan hafal betul. Kalimat yang ia
dengar dari televisi tetangga tempat
ia numpang menonton. Mendengar itu Eva hanya membisu. Entah apa yang ada di
kepalanya.
Hanya
sekali itu Adam bertanya. Ia terus berharap dan berharap agar datang saat di mana
Eva mengatakan: “I do.” Tetapi tidak
diperolehnya. Inginkah ia mengulangi dan menegaskan pertanyaan yang sama pada
Eva? Sangat! Beranikah ia? Tidak!
Ia
cukup tahu diri bahwa
ia bukanlah siapa-siapa. He is nothing to
Eva. Atau mungkin ada pertimbangan lain yang mendorong Eva tidak dengan
cepat dan sejujurnya berucap: “Yes, I do
too.”
Tak
ada satupun yang berani menjawabnya. Adakah Eva sama seperti Eva-Eva lainnya
yang katanya matre? Apakah ia tak
mau menyatakan cintanya secara terus terang pada Adam karena tidak akan
mendapatkan sesuatu darinya? Sekali lagi ini misteri.
Mestikah
Adam bertahan? Ya. Kalau memang mau mendapatkan sosok perempuan yang sempurna
seperti Eva. Tapi sampai kapan? Pertanyaan-pertanyaan itu yang terus
bertubi-tubi meninju pikirannya tanpa jawaban yang memuaskan.
Ia malah
memutuskan untuk tidak menganggapnya sesuatu yang berarti. “Sebab,” demikian pikiran sederhananya
menghibur, “kalau aku terlalu
mengharapkan sesuatu yang terlalu tinggi dan nisbi akan membuatku menjadi
malang bahkan malapetaka.” Ia justru sebaliknya membiarkan segalanya
mengalir seturut irama waktu.
Empat
belas tahun ia menanti perempuannya, Eva. Ia membiarkan dirinya diterpa angin
penantian yang tiada berujung. “Biarlah.
Kalau jodoh takkan ke mana.” Selalu nuraninya menghibur dia.
Apakah
yang dilakukan keduanya selama masa-masa ini? Mereka sibuk dengan kehidupan
sendiri. Tapi bukan berarti mereka tidak berhubungan. Mereka tidak bertatap
muka, tapi mereka bertemu. Memang kalau urusan hati, cinta, tidak dapat
ditentukan dengan apapun kecuali hati itu sendiri.
Selama
masa-masa ini adakah Adam mengulangi pertanyaannya? Tidak. Apakah Eva juga
menyatakan arti sukanya pada Adam? Tidak. Mereka sekali lagi hanya mengalir
bersama arus hati masing-masing. Selesaikah kisah mereka? Belum. Masihkah terus
berlanjut? Kenyataannya, masih. Namun kepastiannya, entah.
Membosankan
sungguh. Terlalu lama bagi mereka yang menonton, bagi mereka yang tidak
mengalami secara langsung. Empat belas tahun bukanlah waktu yang singkat untuk
suatu penantian.
Biasanya
orang menunggu satu jam serasa setahun. Apalagi lebih satu dasawarsa. Bukankah
ini suatu masa ujian yang menantang dan mungkin mengasyikkan? Entah. Mereka cukup menikmati
permainan ini. Hanya dengan saling memberi perhatian lewat ucapan.
Mereka
terus membangun komunikasi itu yang entah akan sampai mana akhirnya. Mereka
sudah tidak lagi terlalu fokus pada satu titik yang nisbi itu, cinta. Yang
mereka lakukan sekarang
adalah hal-hal sederhana.
Hal-hal sepele tetapi mengandung efek yang kuat.
Terkadang
perbedaan yang besar menjadi tidak menonjol. Ia
akan sirna bila melihatnya dengan hati. Hati berarti
kasih. Hati memang tempatnya benih kasih dan cinta itu tumbuh.
Adakah
perbedaan antara Adam dan Eva telah sirna karena di sana ada kasih? Entah.
Sekali lagi hanya keduanya yang tahu keberadaan mereka dalam urusan hati ini.
Atau kalaupun sudah ada kasih di dalam diri mereka, takarannya hanya mereka
pula yang tahu.
Sekiranya
mau dianalogikan sebagai pelumas, tak seorangpun yang dapat mengukur kekentalan
kasih mereka. Kecuali, lagi-lagi, hanya mereka berdua. Kalau kasih mereka itu
diumpamakan suatu simpul tali, tak seorangpun dapat memastikan seberapa erat
ikatan itu.
Masa
penantian itupun berujung. Waktunya telah tiba. Mereka dapat bertemu. Mereka
dapat berbincang panjang lebar. Mereka sama-sama menuangkan perasaan yang
selama ini dipendam.
Adam
yang orang sisa-sisa, yang papa, yang miskin, tinggal di pinggiran. Ia tidak
mengenyam pendidikan sebaik Eva.
Namun ia dapat berkasih-kasihan dengan Eva. Yaitu Eva
yang lulusan es tiga, yang kaya, yang tinggal di istana mewah, yang berkulit
mulus, yang ayu, yang manis dan menarik.
Mereka
telah melupakan perbedaan yang ternganga itu. Mereka sedang berada di sebuah
taman kasih yang penuh bunga cinta. Adam dapat membelai kulit mulus sang
primadona. Eva tidak menolak. Ia menikmatinya.
Napas Eva yang harum dan
segar itu
menebar.
Bersebaran dari bibir manisnya bersamaan dengan ucapannya yang
terlontar.
Harumnya menubruk indra penciuman Adam. Ah, ia terbuai. Adam
semakin mabok kepayang.
Eva
memang sempurna. Ideal. Semua keberadaan dirinya membuat Adam tak berdaya. Ia
teperdaya. Aroma parfum yang merebak dari seluruh tubuh seksinya membuat Adam
semakin melayang.
Hampir-hampir
kehilangan kendali. Sayang, Adam tidak menyadari bahwa Eva mengasihinya bukan
sebagai seorang kekasih. Ia mengasihi Adam sebagai makhluk loyo-papa yang butuh
dan patut dikasihani. Titik.
Adam
memproteskah? Tidak. Mestikah Adam menuntut? Tidak perlu. Haruskah ia mencari
pembelaan dari seorang pengacara terkenal? Tidak. Kalaupun ada, apa yang dapat
dia berikan kepada orang yang membantunya tersebut?
Dia
lebih memilih diam. Pasif. Ia hanya berpikir ke dalam dirinya. Lebih banyak
introspeksi, kata orang pintar. Ya, dia mengenal siapa dirinya. Ia sadar betul
bahwa dirinya tak layak memiliki perempuan ini.
Ia
sadar bahwa dirinya hanyalah sebagian dari orang kebanyakan. Mereka yang
patut menerima perlakuan-perlakuan semacam itu. Perlakuan-perlakuan yang tidak
menyenangkan. Perlakuan-perlakuan yang menyiksa sisik-nurani-rohani, pun sosok-jasmani-ragawi.
Impian
dan harapan untuk bersanding dengan perempuan pujaannya sirna. Bahwa antara
impian, harapan dan kenyataan tidak selalu sama. Malah mungkin jauh bertolak
belakang.
Menghadapi
situasi ini Adam berusaha menenangkan diri. Tetapi bayangan Eva sang perempuan manisnya selalu dan senantiasa memburu mengejarnya. Tidak
tahan akan situasi psikologis ini, ia berteriak sekencang-kencangnya: “GIIIILAAAAAAAAAA!”
Bukan
hanya berteriak untuk mengurangi kesesakan dan kepedihan dalam dadanya. Sambil
berteriak, ia melompat setinggi-tingginya. Dan: “Gedebug.” Ia terjatuh di lantai tanah rumahnya. Ah, gila untung
hanya mimpi.
Buaran-Tangerang,
19 Juni 2006
Comments
Post a Comment