OPA CAMPLONG
Selagi aku masih kecil –
sekitar tiga hingga empat tahun, kami sering dikunjungi oleh Opa Camplong. Opa
Camplong dipanggil Tuhan ketika aku masih di rantau. Masih menyelesaikan
pendidikanku. Entah itu di tahun berapa.
Kami memanggilnya
demikian karena memang ia berasal dari sana. Tempat tinggalnya di daerah
Camplong. Jarak tempat tinggal kami dan tempat tinggal Opa kira-kira dua
puluhan kilometer. Tempatnya berada di sebelah utara tempat kami.
Camplong adalah sebuah
kawasan di kecamatan Fatuleu, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Jaraknya
dari Kupang, ibukota provinsi kurang lebih empat puluh lima kilometer. Ia
berada di atas pegunungan yang membuatnya sangat sejuk.
Kalau pembaca suatu
ketika berada di Kupang Anda bisa berkunjung ke tempat wisata di sana. Ada
kolam renang alam yang masih asri. Ia berada di antara beberapa pohon beringin
yang usianya sudah ratusan tahun. Sangat rindang.
Di sana juga ada tempat
wisata yang menantang. Gunung Fatuleu. Pembaca akan disuguhkan dengan
pemandangan keren dari ketinggian. Anda seolah sedang bergelantung di langit
bila mencapai puncaknya.
Kembali ke pokok cerita.
Kami, aku dan semua kerabat memanggilnya Opa Camplong padahal ia mempunyai nama
yang keren. Christofel Loemnanu. Opa Camplong adalah adik kandung dari papanya
mamaku.
Opa Camplong berprofesi
sebagai mantri pertanian. Tapi aku baru tahu setelah besar dan telah paham.
Juga karena diceritakan oleh beberapa kerabat yang mengetahuinya. Karenanya di
sekitar sekeliling rumah Opa Camplong sangat asri dengan berbagai jenis pohon
buah yang menggiurkan.
Suasananya nyaman dengan
ayoman dedaunan yang merindang. Juga ada rasa sejuk dari semilir angin sepoi
yang amboi. Bayangan rimbun pepohonan dan belaian sejuknya angin membuat orang
terbuai tidur terlelap dalam sekejap.
Kalau Opa Camplong ada
di rumah aku pasti merengek padanya minta didongengi. Ia akan mendongeng sembari
berbaring di tempat tidur. Atau di mana saja, asal bisa untuk membaringkan
tubuh/badan. Ia jarang menolak. Bahkan tak pernah tidak memenuhi permintaanku.
Aku tak ingat akan isi
ceritanya. Yang aku masih ingat adalah ia bercerita, menyampaikan sesuatu. Bila
ia sedang bercerita, sekalipun aku baru bangun tidur pasti tertidur kembali.
Adegan dalam ceritanya sungguh seru.
Yang membuatku tidur dan
tertidur bukan isi ceritanya. Tetapi intonasi suaranya saat bercerita dan
permainan jari-jemarinya. Sama seperti seorang dalang yang sedang memainkan
wayang-wayangnya.
Jari-jemarinya dimainkan
di punggungku. Masing-masing jari memerankan seorang tokoh. Kadang mereka
berantam, kadang bersahabat. Kalau sedang berkelahi, mereka (jari-jari Opa)
akan saling berkejaran melintasi seluruh tubuhku.
Mereka berkejaran bukan hanya
di punggung saja. Tapi di seluruh badan. Ekspresi atau intonasi suara Opa pun
seru pula. Persis dalang. Kalau lagi bersahabat suara Opa akan melembut. Jari-jemarinya
hanya akan berjalan beriringan dalam damai sembari mengelus-elus.
Cara Opa meninabobokanku
demikian membuatku sangat ‘kecanduan.’ Aku baru mau tidur bila diceritakan
tentang sesuatu sambil mengelus punggungku dengan jari. Kebiasaan ini baru
hilang setelah aku benar-benar sekolah.
Comments
Post a Comment