KENCAN


Dibiarkannya tubuhnya kupangku. Malah, tubuhnya dibiarkan menghempas pas di atas dadaku saat aku berbaring. Kurangkul dan kubelai. Lalu aku membisikkan sesuatu yang dibalasnya dengan desah suara lembutnya nan manja.
Kadang kami hanya berdiam dalam kebisuan. Tanpa kata-kata. Tanpa gerak. Kami tenggelam dalam keheningan. Itu adalah pemandangan sehari-hari setiap kali kami bertemu. Selalu begitu sejak perkenalan kami beberapa waktu yang silam. Kami berkenalan melalui perantaraan temanku.
Jauh sebelum perkenalan kami aku sudah sering melihatnya. Ia biasa berada di tengah-tengah kelompok teman-temanku. Ketika itu aku tertarik untuk segera bergabung dengan mereka sekedar untuk mengenalnya secara lebih dekat.
Aku tidak punya nyali untuk itu. Bergabung dan berkenalan. Aku malu, minder dan kurang supel dalam bergaul. Apalagi untuk berkenalan dengan sang pujaan. Ia boleh dibilang merupakan pusat perhatian di antara mereka kala itu.
Dari kejauhan aku melihatnya begitu anggun di antara teman-temanku. Dia menjadi pusat perhatian. Dia dapat bercanda dan bergurau dengan siapa saja. Siapa pun yang mau yang kebetulan berada di dekatnya.
Dia nampak akrab sekali. Dia polos. Dia tidak sombong. Dia kalem, bahkan pendiam. Tetapi dia akan dapat menjadi periang bila diajak untuk bergembira bersama. Secara responsif dia bisa menjadi periang pendendang bila ada stimulus dari orang lain.
Dia akan bersenandung bila ada yang memulai dan mengajaknya. Merdu sungguh suaranya. Dia tidak mau memulai lebih dahulu menghebohkan suasana. Ia melakukan itu karena demi mempertahankan kepribadiannya. Integritasnya. Itulah citra diri dia yang sesungguhnya.
Dia sanggup mendendangkan lagu apa saja. Lagu pop, lagu rock, lagu country, lagu jazz, lagu blues, lagu keroncong, sampai lagu dangdut. Dan semua jenis lagu lainnya ia sanggup dendangkan.
Baik yang bertema duniawi ataupun sorgawi. Yang membuatku lebih kagum lagi dari dirinya adalah manakala dia mendendangkan lagu-lagu duniawi dia tampil prima. Dia bag seorang biduanita papan atas yang dipuja fans-nya.
Sebaliknya, dia bisa menjadi setetes embun yang memberi kelegaan. Beri kelegaan kepada para musyafir pendosa yang sedang bertualang dalam kekhilafannya. Ia dapat mengubah mereka menjadi petobat yang sungguh-sungguh. Petobat yang berbalik pada Tuhan bila ia mendendangkan gita sorga. Gita yang menggemakan Keagungan Sang Khalik. Dia memang luar bisa.
Secara fisik dia boleh dibilang yahud. Ibarat kendaraan, dia itu fully pressed body. Dia memiliki kesempurnaan fisik yang prima. Dia seksi. Lekak-lekuk badannya sangatlah mempesona.
Mulai dari ujung kepala, leher, badan hingga ke bagian-bagian seterusnya pas. Seimbang. Serasi dan enak dipandang mata. Telinganya kecil sesuai dengan kepalanya. Bibirnya tipis. Pas dengan mulut mungilnya. Lehernya ramping mulus. Seimbang dengan badannya yang seksi. Bahenol. Gempal dan…. Entah kata-kata apalagi yang cocok untuk melukiskan kemolekan tubuhnya.
Begitulah kesan pertamaku saat melihatnya. Aku sungguh terbius karena penampilannya. Aku kegilaan. Aku terhipnotis. Aku mabok. Aku tak sanggup menahan diri lagi untuk segera mengenal dan memiliki dirinya seutuhnya.
Setiap kali aku melihatnya jantungku selalu berdegup kencang. Batinku bergetar. Hanya ada satu tekad dalam hatiku: Aku ingin memilikinya. Ya, aku harus memilikinya kapanpun waktunya. Mungkin besok. Entah nanti! Yang jelas aku takkan berubah pikiran. Aku ingin dan harus memilikinya seutuhnya-sepenuhnya-seluruhnya. Itulah yang ada dalam batinku.
Setiap saat, setiap waktu aku senantiasa berpikir memutar otak. Aku mencari jalan dan memberanikan diri untuk dapat mengenalnya. Aku sering harus bertengkar melawan batinku sendiri.
Cara terbaik apa yang bisa kupakai untuk menaklukkan dan meraih dewiku itu. Setiap kesempatan, sekecil apapun, tak pernah kubiarkan berlalu. Apalagi disia-siakan kalau itu bisa kupakai untuk mendekati dan berkenalan dengannya.
Saat yang kutunggu pun tiba. Waktu itu dia sedang berduaan dengan teman karibku yang kebetulan sedang kucari. Walau dengan menahan napas dan degup jantung yang tak tentu irama, aku terpaksa harus mendatangi mereka.
Pada kesempatan itu akhirnya kami pun berkenalan. Dia menyambut perkenalan itu dengan tangan terbuka dan penuh kehangatan. Dia berlaku sedemikian manis padaku. Aku sampai lupa keperluan utamaku dengan temanku itu.
Aku bangga dapat berkenalan dengannya. Sejak saat itu aku dapat memandangnya dari dekat. Aku dapat merasakan gurauannya secara langsung. Aku dapat menikmati suara emasnya. Aku dapat menyentuh kulit mulusnya.
Kini dia telah kukenal. Yang aku dambakan terwujudlah sudah. Dia telah menjadi bagian dalam hidupku. Dan aku berjanji dalam diriku untuk menjadikannya sebagai tempatku menuangkan segala isi di hati. Dia akan kujadikan teman berbagi rasa. Suka pun duka.
Begitulah seterusnya persahabatan kami. Semakin hari kian kental aku mengenal pribadinya. Bahkan yang paling pribadi dan rahasia sekalipun. Aku tahu apa yang menjadi kesukaannya, demikian sebaliknya.
Dia dan aku bagai ikan dan air. Yang satu tidak bisa terlepaspisahkan dari yang lain. Tambah lama semakin bertambah dekat. Kian lengket dan sulit dipisahkan. Dialah kebutuhanku dan aku pengharapannya.
Tanpa aku dia tak bisa berbuat apa-apa. Sebaliknya, hidupku semakin hidup bila ada dia bersamaku. Dialah tempatku bersandar. Aku tempatnya bergayut. Dia telah menjadi milikku. Dialah belahan jiwaku, kini dan selamanya.   
Dia menjadi permata hatiku yang paling berharga. Tiada bosannya aku bercanda, bergurau, berbagi duka dan suka dengannya. Dia pun tidak pernah menolak bila diajak bercanda, bergurau dan berbagi suka maupun duka.
Dia teman yang setia dalam segala hal. Dia tak pernah sudi membiarkan aku dalam kesepian. Dia tiada pernah mau melihatku bermuram, apalagi berduka. Dia selalu menawarkan jasa kepadaku sebagai pelipur. Ia menghibur manakala aku berada dalam situasi semacam itu.
Bagiku dia adalah dewi penolong yang tak pernah bengong. Malah ia selalu siap menolong tanpa pamrih. Aku bangga padanya. Aku sayang padanya. Aku selalu berusaha memberi perhatian padanya sebisa yang aku punya.
Hari, bulan dan tahun bergulir. Berganti tanpa henti. Memang, waktu terus berputar dan berubah seturut kodratnya. Namun aku dan dia tetap sama. Tetap satu. Dia milikku. Aku kekasihnya.
Kami kian larut dalam persahabatan yang semakin intim. Persahabatan yang melebihi batas persahabatan yang sesungguhnya. Kami tidak lagi hanya sebagai tempat berbagi suka ataupun duka. Kami bukan hanya sekedar bercanda dan bergurau. Akan tetapi lebih dari pada itu. Kami telah saling berkencan. Kami telah melampaui batas. Kami telah saling lupa diri.
Sebenarnya aku tidak menghendaki hal itu terjadi pada kami, padaku dan dirinya. Sebab aku talah mempunyai isteri dan juga anak. Karena aku adalah anak Tuhan yang baik. Manusia yang bertaqwa. Orang yang religius. Insan yang rajin berbakti dan beribadah. Bahkan kami sering berdoa bersama-sama.
Jadi itu tidak mungkin dan tidak seharusnya kami lakukan. Namun itulah yang terjadi. Itulah yang membuat perasaanku seperti disayat-sayat. Aku tidak tahu mengapa. Aku benci diriku sendiri. Aku pun ingin membecinya.
Tapi dia malah sebaliknya. Dia tidak merasa ganjil. Biasa saja. Dia mengasihiku. Sebenarnya aku justru mengharapkan penolakan datang dari dirinya, bila dia kukencani. Tetapi yang kudapat malah berlawanan, aku di-welcome.
Apabila kami berkencan dia tak pernah menolak apapun yang kuperlakukan kepadanya. Dia justru membalasnya dengan penuh kasih nan mesra. Sekalipun mungkin aku kasar.
Oleh karena dia selalu membalas perlakuanku dengan mesra aku sering kehilangan kontrol. Aku semakin lupa diri dan cenderung tak tahu adat. Aku lupa kalau aku telah beristeri-anak.
Aku lupa kalau aku anak Tuhan. Anak soleh. Aku lupa kalau dia adalah teman persekutuan. Teman beribadah. Teman yang selalu bersama-sama mendendangkan puji-pujian kemenangan. Puji-pujian yang bernafaskan illahi.
Aku sering tidak perduli dengan keadaan sekitarku bila timbul keinginanku untuk mengencaninya. Apakah itu di dalam kamar tidur, di ruang belajar, di ruang makan, di ruang tamu, bahkan di teras. Apakah di tempat tidur, di sofa, atau di lantai.
Apakah dalam keadaan berbaring atau duduk, sedang menonton TV atau sambil berjalan. Aku pun sering tidak memperhatikan keadaanku sendiri. Apakah lagi segar, dalam keadaan lelah, bahkan baru pulang kerja.
Semua keadaan itu tidak aku perdulikan. Yang aku ingat, yang aku tahu, yang melintas di kepaladalam pikirankusaat itu hanya satu: Aku sedang mengencaninya. Sahabatku. Kekasihku.
Aku pun tidak tanggung-tanggung bila dia sedang kukencani. Aku sungguh nakal dalam memperlakukannya. Pokoknya aku benar-benar memanfaatkan kesempatan itu untuk melampiaskan segala naluriku yang haus.
Aku buas dalam mengumbar nafsu. Tak heran jika seluruh tubuhnya yang seksi itu habis kugerayangi. Kedua tanganku dengan sepuluh jarinya aku gunakan semaksimal mungkin.
Aku mempermainkan jari-jemariku secara optimal. Sungguh liar. Binal. Aku membelai. Aku memencet dan seterusnya. Mulai dari bagian yang paling atas. Dari kepala lalu turun ke leher. Kemudian ke dada dan seterusnya hingga tak sejengkal pun tubuhnya yang terlewatkan.
Dia tidak menolak, apalagi melarang. Malah sebaliknya, dia pasrah. Pasrah pada keadaan. Yang lebih hebat lagi, dia membalas dengan penuh kasih. Penuh kelembutan. Dia justru memperdengarkan suara manjanya yang renyah aduhai.
Begitulah keadaanku dan dia setiap saat di kala kami berkencan. Aku merasakan kehangatan dan kemesraan yang sesungguhnya. Dunia seperti milik kami berdua. Dunia sekeliling kami seperti tak berpenghuni.
Sesungguhnya batinku senantiasa melarangku untuk mendekatinya apalagi mengencaninya. Mengingat latar belakangku yang sudah kuutarakan sebelumnya. Akan tetapi “kedagingan”ku terus mendorong. Ia memaksaku untuk menghampiri dan mengencaninya manakala aku melihatnya.
Konflik dalam diri ini sering membuatku tak berdaya. Peperangan sering terjadi antara batin dan “kedagingan.Pertarungan antara rasa dan nalar bila aku berhadapan dengannya. Dan dalam peperangan itu “kedagingan”kulah yang menang. 
Suatu sore saat kami sedang berduaan, asyik melakukan permainan perbuatan itu lagi. Saat mana kami sedang berkencan. Di kala aku mulai mabok kepayang, kerasukan dan semakin menggila. Ketika aku kian melayang jauh ke alam kenikmatan yang paling dahsyat yang paling tinggi dan....
”Pa, tolong aku dong!” Suara istriku merebak memecah keasyikanku tiba-tiba.
“Kamu asyik sendiri. Cuek banget sih, jadi orang!” Lagi-lagi suara istriku melengking tinggi menggema ke seluruh ruangan. Tak tahan juga kupingku jadinya. Maka walau tak rela dan hati geram, aku terpaksa meletakkan gitar tua itu dan  menghampirinya.


Pancoran-Glodok, 8 Oktober 94

Comments

Popular posts from this blog

TEACHER

BERIRING

AKU ADA SEBAGAIMANA AKU ADA KARENA MEREKA ADA BAGIKU