KANG GURU


Good morning, Mister, sapa para murid kelas lima kompak. Ketika mereka mendatangi gurunya untuk memulai pelajaran olahraga pagi itu. Udara masih sejuk. Embun yang menebar masih nampak seperti kristal di rerumputan. Hawa lembab yang merebak dari rumput dan tanah pagi itu terasa hangat menyengat hidung.
Morning, kids,” balas Kang Guru. Sejenak ia melayangkan pandangnya menatap meneliti setiap anak didiknya. Ia menyelidik, kalau-kalau ada yang tidak masuk. Ia lalu merentang kedua lengannya ke samping.
Dengan melebarkan kedua lengannya demikian, semua siswanya telah mengerti apa yang harus dilakukan. Mereka berbaris mengembang ke kiri dan ke kanan. Mereka membentuk barisan dua saf.
“Lari perlahan-lahan lima kali keliling lapangan basket,” perintahnya kemudian. Itu ia lakukan setelah menghitung, mengabsen dan melakukan peregangan ringan. 
Dengan taat anak-anaknya berlari melaksanakan perintah Kang Guru. Suasana riang menyelimuti mereka. Itu terpancar dari ekspresi wajah mereka. Ada canda tawa mengiringi dan menyertai selama beraktivitas.
Ketika anak didiknya sedang berlari-lari kecil menyusur pinggir lapangan, Mister Kang Guru menatap kosong barisan panjang di hadapannya. Pikirannya menerawang menembus awang-awang melalui sela-sela mereka.
Isi kepalanya bekerja keras mereka-reka apa yang sedang terjadi pada anak-anaknya. Apa yang sedang mereka lakukan di sekolahnya di kampung?
Di sini, di sekolah elit ini ia mengajar mentransfer ilmunya dan membina karakter para siswanya. Ia mendidik dan mengajar anak-anak melakukan kegiatan olahraga dengan gerakan-gerakan yang benar.
Dengan sabar ia menuntun setiap siswanya agar dapat menguasai setiap materi yang diajarkan, bagaimanapun kemampuan mereka. Ia memberikan perhatian kepada mereka secara merata. Tiada satupun yang terlewatluputkan dari pantauannya.
Sehingga sehabis belajar mereka semua merasa senang juga segar. Sekalipun secara fisik mereka lelah. Ia memang seorang guru yang pandai dan kreatif. Ia menciptakan suasana belajar yang menyenangkan bagi anak didiknya.
Di sekolah ini pun ia bisa menikmati segala fasilitas yang mewah. Ada lapangan basket ukuran NBA. Ada lapangan bola dengan rumput hijau yang halus menghampar di atasnya. Ada kolam renang bertaraf internasional. Fasilitas kamar mandinya lengkap dengan air dingin dan air panas.
Di sana juga tersedia wheerpool. Yaitu kolam air panas dan air dingin untuk berendam relaksasi. Tersedia pula lapangan badminton indoor. Lapangan yang bisa dan biasa dipakai untuk kejuaraan-kejuaraan nasional, bahkan internasional. Semuanya mewah.
Gedung sekolahnya pun mewah. Semua ruangan kedap suara. Ada pendingin udara yang semilir menyejukkan. Laboratorium komputer yang lengkap. Jaringan internet yang bisa bebas akses setiap saat.
Laboratorium bahasa dengan perlengkapan audio-visual yang canggih. Ruang perpustakaan luas dan nyaman untuk membaca dan belajar. Sebagian besar koleksi bukunya adalah impor. Buku-buku berbahasa Inggris.
Di satu sisi, ia berbahagia karena dapat mengajar di sekolah modern ini. Sekolah yang kurikulumnya nasional plus. Plusnya adalah bahasa Inggris dan Mandarin serta berbagai keunggulan lain.
Bahasa pengantar dalam proses belajar mengajar di sana adalah dwi bahasa. Inggris tujuh puluh persen dan bahasa Indonesia tiga puluh persen. Bahkan untuk beberapa mata pelajaran tertentu, dilakukan hanya dalam bahasa Inggris.
Penampilan guru yang mengajar pun sangat diperhatikan dan dijaga. Aura wibawa mereka terpancar senantiasa. Pakaian para guru rapi tertata dan seragam. Baju putih lengan panjang plus dasi dibalut setelan jas merah marun yang keren bagi pria. Dan blazer untuk guru perempuan. Tetapi seragam ini baru boleh dikenakan oleh guru yang masa kerjanya sudah dua tahun atau lebih.
Mister Kang Guru memang guru yang beruntung. Ia bisa diterima di sana karena latar belakang pendidikannya yang sesuai dengan mata ajar. Ia juga memiliki kemampuan bahasa Inggris yang tidak kalah keren dengan guru-guru lainnya. Dia dapat diterima di sana karena pengalaman mengajarnya yang sudah mencapai belasan tahun.
Tetapi di lain sisi, ia sangat tertekan karena ia hanya mampu menyekolahkan anaknya di sekolah negeri. Itu pun di kampung yang gedungnya saja sangat memprihatinkan. Bocor di mana-mana menyebar hampir di seluruh atapnya. Lantainya tidak berubin, hanya tanah kering. Ia akan berdebu saat kemarau dan berlumpur di kala hujan.
Mereka sering tidak sekolah bila hujan mengguyur. Pada bagian tertentu dari tembok-temboknya hanya mampu ditutupi triplek atau karton bekas. Meja tulis dan bangku dipakai bertiga setiap unitnya. Ini membuat ruang gerak terbatas saat menulis.
Kondisi inilah yang membuatnya miris. Ia teriris karena dua hal mendasar. Pertama, sebagai suami dan kepala keluarga ia belum mampu menciptakan kebahagiaan secara materil kepada anggota keluarganya. Sekalipun ia telah menjadi guru di sini sekian tahun.
Yang kedua, sebagai bagian dari masyarakat bangsa ia sedih. Karena masih banyak anak Indonesia yang belajar dalam kondisi sekolah dan ruangan seperti ini. Ah, sangat memilukan, juga memalukan.
Ia kelu. Sanubarinya tergugah namun ia pasrah. Pasrah bukan berarti menyerah. Ia terus berharap. Berharap pada Sang Empunya waktu. Kiranya suatu saat entah itu akan terejawantah.
Mister, sudah.” Anak-anak mengejutkannya dari lamunan.
Ok!, kids; today we’re going to learn about dribling!” Kata Mister Kang Guru setelah mereka sudah rapi kembali dalam barisan. Ia lalu memerintahkan untuk merentangkan tangan setinggi bahu. Agar ada jarak di antara mereka sehingga gerakannya tidak terhambat.
Ia memantul-matulkan bola di samping depan kaki kanan ketika ia mendribel dengan tangan kanan. Atau di samping depan kaki kiri bila ia menggunakan tangan kiri. Ia berjalan bolak balik di depan anak-anak sambil memainkan bola. Ia bergerak dari sisi baris sebelah kanan ke ujung baris paling kiri. Ia mendemonstrasikan gerakan mendribel yang sesungguhnya.
Now, I would like you to do just like what I have shown you. First, bounce the ball with your left hand. Keep your eyes ahead. And you may just change to the other hand as well as to the next person, if I ask for. Understand that?
Yes!” Respon anak-anak seragam dalam suka dan girang sambil mempersiapkan diri untuk melakukannya. 
Are we playing afterward, Sir?” Tanya William yang memang doyan main basket.
Yes, of course.” Jawab Mister Kang Guru cepat, meyakinkan.
Mister Kang Guru, demikian julukan atau panggilan Pak Cecep Sunarya. Ia dipanggil demikian karena ia orang Sunda asli Cianjur, Jawa Barat. Sebagai orang Sunda ia terbiasa dipanggil dengan sapaan “Kang.”
Pekerjaannya adalah guru. Karena jabatannya itulah orang terbiasa memanggilnya: “Kang Guru.” Sebagian besar guru di lingkungan sekolahnya adalah bule atau expatriate. Mereka biasa diembeli mister maka lengkaplah ia menjadi “Mister Kang Guru.”
Tak jarang anak-anak didiknya yang telah lulus dan beranjak “dewasa” memanggilnya dengan sebutan “Bung.Mereka memanggil layaknya para pejuang saling sapa dalam akrab. Jadilah panggilan baru baginya: “Bung Kang Guru atau Bung Mister.” No problem.
Ia tidak merasa risih sejauh nalurinya mengatakan mereka tidak kurang ajar. Ia tidak memprotes akan cara mereka memanggil, apalagi melarang. Ya, terkadang ada satu dua anak yang kebablasan.
Bila ia melihat dan mendengar mereka yang berlaku demikian, ia tidak akan berespon secara serampangan. Tidak serta merta ia menghardik dengan kekuasaannya. Ia hanya akan menatap tajam padanya dalam diam yang kental.
Dalam situasi seperti itu, anak-anaknya yang kebablasan langsung cepat menyadari kesalahan yang telah dibuat. Mereka meminta maaf sembari berjanji untuk tidak akan melakukannya lagi.
Bye. See you next week.” Mister Kang Guru membalas salam anak didiknya. Pelajaran selesai. Mister Kang Guru kembali bersalin. Ia mengganti pakaian “dinas lapangannya” yaitu trening, kaos dan sepatu kets.
Ia harus mengenakan pakaian kebesarannya. Ia siap berbaur dengan pasukan “Umar Bakrie” lainnya menunaikan tugas mulia: “Mencerdaskan kehidupan bangsa.”
Penampilan luarnya sangat mengagumkan. Tubuh atletisnya yang terbungkus pakaian rapi selalu mengundang pesona dan decak kagum orang yang melihat. Benar, secara lahiriah ia memang wah. Tetapi secara batiniah, ia bak gemuruh yang berkecamuk. Ibarat gempuran ombak yang menghantam dinding cadas yang menjulang di bibir laut.
Betapa tidak? Dalam penampilan yang demikian, ia harus pergi ke sekolah dan pulang ke rumah dengan mengendarai sepeda. Sementara semua anak muridnya duduk nyaman di atas jok empuk dalam bilik mobil mewah. Bilik dengan pengharum ruangan dan pendingin udara yang sejuk. Sungguh suatu ironi yang membuat hatinya ngilu bila berpapasan. 
Adakah Mister Kang Guru bisa menikmati hidup lumayan seperti setiap muridnya? Dapatkah anak-anaknya menikmati fasilitas pendidikan selayak anak-anak didiknya? Anak-anak yang berhamburan mengelilinginya saat belajar.
Mampukah ia menyejahterakan keluarganya dengan gajinya? Suatu upah yang lumayan ketat bersaing dengan membubungnya harga bahan pokok. Entahlah. Tiada yang dapat memprediksinya.
Kenyataan hidup yang dia jalani bukan hanya soal upah yang menjadi pergolakan batinnya. Tapi masih ada hal lain lagi yang justru lebih mendasar. Lebih esensial. Lebih penting. Yaitu kepastian kenyamanan bekerja –  berkarya – mengajar – mendidik anak bangsa.
Kenapa? Di sini, di setiap musim penghujung tahun ajaran selalu ada antrian panjang untuk menerima nasib di-pehaka alias dipecat. Ah, sungguh tidak berperi! Kebanyakan yang dilengserkan atau dibumihanguskan adalah orang-orang atau dalam hal ini guru-guru yang berdedikasi tinggi.
Dan kebanyakan tidak bersalah. Sekiranya pemecatan itu dilaksanakan akibat kesalahan fatal yang dibuat, entah sengaja atau tidak maka itu suatu konsekwensi logis. Konsekwensi yang harus diterima dengan legowo.
Alasan klasik yang sering dipakai sebagai senjata pamungkas demi membungkam pergolakan di sekolahnya adalah PERAMPINGAN. Mister Kang Guru menangis ketika ia secara kasad mata menyaksikan semuanya itu.
Ia melihat di setiap akhir tahun ajaran sekian banyak rekannya seprofesi dipecat. Mereka yang telah diakui profesionalitasnya oleh pemerintah dengan bukti sertifikat hasil sertifikasi juga kena pecat. Mereka bergeletak bertumbangan akibat perlakuan yang tidak manusiawi itu.
Mereka bagai daun-daun yang berguguran pada saat yang bukan selayaknya. “Sekali waktu kelak, aku akan menerima nasib serupa,” suara hati Mister Kang Guru membisik lirih. Ia menerka misteri hari depan yang nyata yang maya itu.
Lalu batinnya merintih pedih nan perih. Ia bermonolog membisu: “Beginikah wajah pendidikan Indonesia yang berpancasila? Inikah keramahan lembaga pendidikan Indonesia yang berperikemanusiaan? Pantaskah mereka menerima perlakuan demikian dari sekolah yang mengkultuskan dirinya sebagai yang berketuhanan yang mahaesa?”
Entah! Pertanyaan-pertanyaan itu senantiasa berseliweran saling silang memenuhi isi kepalanya tanpa solusi. Yang pasti, ia menyerahkan kepasrahan setulus-tulusnya di kaki Tuhannya. Tuhan yang ia sembah dengan segenap hati setiap hari. Doanya: “Semoga Gusti Allah mendengar, melihat dan meresponinya!"
Ia selalu memafaatkan waktu luang yang sesempit apapun sepulang dari sekolah untuk mencari terobosan. Terobosan lain demi mengisi pundi-pundi keperluan rumah tangganya. Pada hari Sabtu dan hari libur lainnya ia berpacu melawan ketidakramahan hidup. Ia melakoninya demi meraih dan merajuk mozaik hidup.
“Halo! Selamat sore!” Suara seorang lelaki tak dikenal terdengar tegas. Suara itu terdengar dari HP tua saat perempuan itu mengangkat dan menempelkannya di telinga. HP bekas itu belum lama ini dibelikan.
“Sore!” Sahut Ibu Kokom, istri Mister Kang Guru menjawab suara yang asing dan berat itu. Suara berat yang berada di ujung telepon entah di mana.
“Apakah Ibu mengenal Bapak Cecep Sunarya yang beralamat di Jalan Buaran PLN nomor tujuh puluh tiga, erte enam, erwe dua?” Lanjut suara tadi lancar tak putus. Ia mengetahui alamat dan nomor telepon dari barang-barang yang ada dalam kantong pakaian sang empunya. 
“Ya, saya kenal. Dia suami saya. Ada apa, ya, Pak?”
“Oh, tidak apa-apa. Saya hanya mau mengecek kebenaran informasi saja. Ibu jangan panik. Tenang, ya, Bu! Mohon Ibu segera datang secepatnya.” Polisi itu menutup telepon genggamnya setelah menyebutkan suatu alamat tertentu. Ia memasukkan kembali ponselnya ke dalam kantong yang menempel di pinggangnya. Ia lalu bergegas dari kamar mayat salah satu rumah sakit di Tangerang.


Cikokol, 22 April 2000


Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

TIDAK PAKE JUDUL

POIRHAQIE de KRISSIEN

TERKONDISI SEBAGAI ORANG SISA-SISA