DUNIA MENYAMBUTKU


Suasana Natal masih terasa. Sementara pergantian tahun sedang berprosesi. Tahun yang lama telah ditinggalkan. Ambang tahun yang baru mulai mekar menguak. Setiap orang sedang berarak menapak memasuki tahun enam lima. Mereka terus bergerak membelakangi meninggalkan tahun enam empat.

Orang-orang di kampungku sedang sibuk. Hilir mudik. Kunjung-mengunjungi sanak famili dan handai taulan untuk saling mengucap: “Selamat tahun baru.” Itu sudah merupakan suatu tradisi turun-temurun di sana. Di Noekele.

Noekele sebenarnya adalah nama sungai. Sungai yang memisahkan dusun Kuanusapi dan Noekele. Sungai ini membentang mengular puluhan kilometer. Ia membawa mengalirkan air dari beberapa kampung dan berakhir dengan menuangkannya di sungai Roha.

Kampungku ini berada di sisi sungai atau kali tersebut. Maka untuk memudahkan penamaannya para pendahulu memberi nama begitu. Mungkin juga agar mudah mengingatnya. Mereka – orang-orang di kampungku ini – menyebut nama kampungku sama seperti nama sungai itu.
Noekele terdiri dari dua suku kata: Noe dan Kele. Noe artinya sungai/kali dan Kele artinya keruh/kotor. Jadi bila gabungan kedua potongan penggalan kata tersebut diartikan menjadi Sungai Keruh. Itu menurut hikayatnya atau cerita para leluhur di sana.
Penamaannya seperti itu dikarenakan kali tersebut selalu keruh akibat banjir kiriman atau banjir bandang dari hulunya. Hulu sungai ini berada di desa Tainama yang bertetangga dengan kecamatan Amarasi Timur.
Secara geografis Noekele berjarak kurang lebih 45 kilometer dari kota Kupang, ibukota Propinsi Nusa Tenggara Timur. Atau delapan kilometer dari Oesao. Suatu tempat transit kendaraan-kendaraan luar kota ke arah Timur Kupang.

Noekele merupakan sebuah dusun di dalam desa Tuatuka. Ia berada di antara sawah-sawah. Ia dikelilingi sawah karena airnya berlimpah sepanjang tahun. Selain itu juga karena mayoritas penduduknya adalah petani.

Di sebelah Timur ia dibatasi dengan kali Noekele. Di Barat berbatasan dengan Tuatuka. Di Utara dibatasi oleh sungai/kali Roha. Sedangkan di sebelah Selatan berbatasan dengan desa Taitnama.

Sebagaimana biasa dan yang telah mentradisi bahwa setiap awal tahun baru bukan hanya orang-orang Noekele yang bergembira. Masyarakat dunia pun bertempik sorak meniupkan sangkakala merayakan pergantian tahun yang baru.

Mereka bersukacita karena akan menggapai berbagai harapan baru. Masyarakat dunia akan melepaskan hal-hal lama. Berbagai hal yang mendukakan yang bergelayut membebani hidup masa lampau. Semua yang tak menyenangkan ditinggalkan bersama tahun yang lama.

Di awal tahun enam lima ini, tepatnya tanggal satu Januari, sekitar pukul lima sore Papa dan Mamaku kembali ke rumah. Mereka kembali dari sungai Roha sehabis mencuci dan mandi membersihkan diri. Mereka mandi di kali karena di kampungku waktu itu belum membudaya membuat memiliki kamar mandi sendiri di rumah.

Mereka lakukan itu sebagai persiapan menyambut para tamu yang bakal ke rumah bersalam-salaman. Mereka menyusuri jalan-jalan setapak yang ditumbuhi gulma di kedua sisinya. Mereka harus berjuang menyibak rerumputan liar itu agar bisa lewat. Akhirnya mereka terbebas dari pernagkap gulma.

Tapi tak seberapa jauh dari rumah yang tinggal beberapa langkah memasuki pekarangan, Mama terduduk lemas. Mama sudah tak mampu lagi melangkahkan kakinya. Melihat kondisi itu Papa memutusan menggendong Mama. Papa membopong Mama sampai membaringkannya di tempat tidur.

Kakak-kakakku membantu Papa menjaga merawat Mama. Mereka berusaha mengembalikan kondisi Mama setelah berbaring di kamar tidur. Mama kelelahan membawa janin dalam kandungannya. Mama sedang berjuang menahan desakan sang bayi yang ingin merayakan tahun baru.

Kurang lebih jam tujuh malam suara tangisku terdengar menyeruak. Suaraku bertubrukan dengan gelak tawa riang tetamu dan kerabat. Seolah sedang menyongsong menyambut mereka yang telah memasuki pekarangan menuju ‘istana’ kami.

Aku lahir di dalam rumah yang berlantai gravel (tanah kering). Rumah yang beratap daun gewang tanpa langit-langit serta bertembokkan bebak. Papa dan kakak-kakak menyambutku juga menerima kunjungan para tamu.

Daun gewang itu cukup lebar untuk dijadikan bahan penutup rumah/atap. Biasa juga dipakai untuk membuat haik yang berfungsi sebagai tempat membawa air. Gewang adalah tumbuhan palem sejenis lontar yang banyak tumbuh di daratan Timor.

Bebak adalah pelepah daun gewang. Untuk bisa menjadi dinding, bebak itu harus digabungkan satu persatu secara bertumpuk. Caranya adalah dengan menusuknya mirip sate menggunakan 3 bilah bambu yang telah diruncing. Bambu-bambu itu ditusukkan di kedua ujung dan tengah pelepah. Bambu yang ditusukkan berfungsi sebagai penyanggah agar kokoh.

Tidak ada bidan. Tidak ada mantri. Juga tidak ada suster apalagi dokter. Orang-orang hebat berkompeten ini tidak terlibat dalam proses kelahiranku. Di saat itu belum ada tenaga medis di kampung-kampung. Tidak seperti sekarang, mereka ada di mana-mana.

Yang ada di rumahku waktu itu hanya Papa dan jelas Mama. Keempat kakakku. Mama kecilku, Welminci Muni-Loemnanu. Juga Opa Paulus Loemnanu dan Oma Rosalin Loemnanu-Ton. Mama Mincilah yang bertindak sebagai ‘ginekolognya.’

Mama Minci adalah nama panggilan Mama kecilku. Ia adalah istri dari Felipus Muni yang biasa kami panggil Papa Ipu. Papa Ipu berprofesi sebagai kepala sekolah di SD GMIT Tuatuka sampai tutup usia.

Mama atau Papa kecil adalah sebutuan orang-orang di kampungku untuk adik Mama atau Papa. Sebaliknya, Papa atau Mama besar untuk kakak dari Papa atau Mama. Sebagaimana orang-orang di Jawa menyebut Bule/Pakle untuk Mama/Papa kecil. Bude/Pakde untuk Mama/Papa besar.
Akhirnya atas anugerah Tuhan yang Mahamurah aku lahir. Aku berhasil meninggalkan rahim Mama yang melindungiku selama Sembilan bulan kurang lebih. Aku berhasil menghirup udara bebas di antara sengal napas mati hidup Mama.
Aku kini telah menjadi salah satu anggota baru di lingkungan keluargaku. Menjadi anggota baru di dusun Noekele yang asri. Menjadi salah satu anggota masyarakat dunia. Terima kasih Papa dan Mama. Terima kasih Tuhan.
Tidak ada instrument untuk mengukur berat dan panjang badanku. Tidak seperti mereka yang lahir di rumah sakit atawa yang ditolong oleh seorang dokter spesialis. Oleh karenanya tidak ada data yang akurat tentang kondisiku setelah lahir.
Tali pusarku pun cuma dipotong dengan sembilu. Hanya bambu pipih yang ternyata setelah besar baru aku tahu bahwa sembilu itu tajam. Tak heran waktu bodongku (tali pusar) diputus sembilu aku merasa ngilu. Karenanya aku berteriak menangis sejadi-jadinya sehabis-habisnya.

Comments

Popular posts from this blog

TIDAK PAKE JUDUL

POIRHAQIE de KRISSIEN

TERKONDISI SEBAGAI ORANG SISA-SISA