BAJAJ
Lelaki
separoh baya itu sedang berlari. Satu tangan memegang sebuah bungkusan hitam. Sedangkan tangan
lainnya berusaha sebisa mungkin melindungi kepalanya yang mulai
jarang rambutnya.
Tetesan titik air hujan
yang nakal terus
mengejar menyentil
kepalanya.
Ia sedang bergegas menuju jalan untuk mencari perlindungan. Ia juga menanti
kendaraan yang akan membawanya pulang ke rumah.
Sementara
berlindung ia
memikirkan apakah
yang akan digunakan. Ojek, bajaj
atau taksi. Titik air terus dengan liar menetes mengejarnya dari atas. Dari dedaunan
ke manapun ia bersembunyi.
Otaknya
terus menimbang-timbang. Kalau dengan ojek mustahil. Hujan. Pasti basah kuyup. Dengan taksi bisa, tapi
jaraknya terlalu dekat. Malu untuk membayar argo hanya dengan uang dua ribu perak.
Menawar? Tak mungkin.
“Ah,
dengan bajaj aja,” katanya dalam
hati. Selain bisa tawar menawar, juga sudah lama rasanya tidak naik bajaj.
“Hitung-hitung,
bernostalgia,” begitu jalan pikirannya.
Kebetulan
di dekat dia berdiri terdapat pangkalan bajaj langganannya. Hanya dengan satu
isyarat tangan bajaj datang menghampiri dan stop di depannya. Transaksi
berjalan lancar. Ibarat lagu lantunan Iwan Fals: “...tawar menawar harga pas, tancap gas....” Bergegas ia memanjat
memasuki perut bajaj demi
menghindari basah yang lebih parah.
Gelap
mulai menyergap
merayap perlahan menyongsong malam. Mendung yang masih menggelantung di angkasa
makin menambah pekatnya pemandangan. Apalagi lampu-lampu jalan belum menyala. Suasana menjadi
bertambah gulita.
Namun
bang bajaj dengan lincah dan gesit mengemudi kendaraannya. Sekalipun dengan
lampu depan yang lesu cahayanya.
Cahaya suram lampunya yang membias tak berarah.
Sang
“bos” menjatuhkan punggungnya ke sandaran jok yang keras dan kaku. Tangan yang
satu memegang erat bungkusan hitamnya dengan hati-hati. Sedangkan tangan
yang lainnya
menjauh. Kadang diletakkannya tangan yang bebas di jok di samping paha.
Sesekali pula ia melebarkannya di sandaran kursi sejajar bahu.
Sementara
jari jemarinya yang mulai agak keriput menyentil-sentil tak tentu irama. Kadang
pula ia menarik badannya mendekat ke belakang sopir. Sekedar menegakkan
badan atau untuk menetralisir goncangan kendaraan yang ditumpangi.
Pikirannya
menerawang melayang jauh ke belakang. Bak sebuah proyektor, benaknya terus
memutar kembali semua kenangan.
Kenangan semasa mudanya. Masa jayanya. Masa jagonya. Masanya yang hebat.
Dia
teringat kala ia diapit oleh dua perempuan bule pesiar keliling Jakarta. Karena mereka,
bule-bule itu ingin tahu seberapa nikmat bertamasya dengan menggunakan “mobil”
aneh ini. Atau bagaimana ia mengencani pacarnya yang gonta-ganti di
jok belakang sang pengemudi.
Satu
hal yang tak pernah dia lakukan ketika masih muda bila naik bajaj adalah tawar
menawar harga. Yang dia lakukan adalah naik dan duduk dahulu dalam bajaj. Kemudian baru memberi
petunjuk dan arah ke mana ia harus diantar. Membayar pun sesukanya. Artinya seadanya
uang atau seberapa saja sang “bos” mau.
Masih
kental dalam ingatannya suatu ketika. Saat
itu dia
ingin menggunakan kendaraan beroda tiga ini. Ia pun menggapai memanggilnya.
“Baaang.
Jaiiii” Sang bajaj menghampirinya
lalu menunjuk arah.
“Sana.” Dengan
patuh bang sopir membalikkan kendaraannya. Ia mengikuti
arah ujung jari sang penumpang.
Bang
bajaj, sang pengemudi bagai sedang mengajudani seorang jenderal. Tanpa banyak
tanya, apalagi berdebat.
“Belok
kiri.”
Tiba-tiba
suara orang yang ada di belakangnya terdengar memberi isyarat. Belum juga
selesai tikungannya aba-aba berikut telah berhamburan. Keluar dari
antara kedua
bibir hitamnya
yang tebal
dan berkumis jabrik
bak ijuk itu.
“Nanti
sampai lampu merah depan belok kanan. Trus,
di depannya lagi ada pertigaan langsung
masuk ke kiri. Sampai rumah paling ujung, stop.” Kuping dan wajah bang bajaj
merah menahan amarah. Dengan tenang lelaki
penumpang ini keluar dari dalam bajaj.
Kemudian,
“nih....” Disodorkannya dua lembar
lima ratusan. Lalu
ia berbalik hendak meninggalkan bajaj di belakangnya. Namun
belum juga sempat ia melemparkan kakinya melangkah, ia disergah.
“Kok Cuma segini Om,” kata bang bajaj memprotes.
Dengan
serta merta ia memutar badan perlahan namun penuh wibawa. Lalu didekatkan
kepalanya ke muka sang sopir.
“Masih
pengen narik lagi apa kagak?” Bisiknya nyaris tanpa suara. Harum alkohol
keluar merebak dari kerongkongannya. Bang bajaj tidak berusaha berargumentasi
lebih lama. Nalurinya menyerukan agar segera kabur sebelum keadaan menjadi lebih buruk.
Bibirnya
menyunggingkan senyum. Senyum kemenangan yang tak tertandingi di masa silam.
“Hati-hati
bang,” serunya tiba-tiba memecah keheningan. Maklum, bang bajaj mengejar waktu
juga setoran. Jadi, walau dengan sorot lampu yang berjarak kurang dari tiga
meter ke depan, ia terus ngebut berpacu menghampiri target.
Ia tak perduli
maut sedang menghadang. Jalan berlubang, tanjakan atau tikungan terus di-gibas-nya benda beroda tiga itu tanpa
ampun. Tak perduli pula siapa yang sedang dibonceng. Apakah ia laki-laki atau
perempuan. Tua atau muda. Sehat atau lagi sempoyongan.
Yang
penting cepat sampai dan dapat upah. Apalagi orang yang diboncengnya ini adalah
orang yang pernah ia kenal. Orang yang sering membikin kesal teman-temannya para
tukang bajaj. Karena tidak pernah menawar harga bila naik. Bayar pun
sesukanya.
Bungkusan
hitam di tangan lelaki penumpang ini bergoyang kian kemari. Badannya pun tak
heran terpelanting membentur sandaran kursi. Atau bergeser ke dinding bajaj di belakang
pengemudinya.
“Bang,
hati-hati dong!” Suara
sang penumpang berangsur meninggi memperingatkan. Tak ada reaksi. Tanpa respon.
Tidak ada jawabannya. Ia tetap bergeming. Dingin. Sepi. Hanya getaran dan deru
bajaj yang menandakan adanya suatu keberlangsungan.
Kembali
si lelaki menyandarkan punggungnya ke belakang. Ia
menarik napas dalam-dalam lalu memonyongkan kedua belah bibir hitamnya. Bibirnya yang
“seksi” kemudian mengembus perlahan untuk menetralisir diri. Menstabilkan emosi.
“Sampai
pertigaan di depan belok kanan. Pelan aja
bang. Jalannya jelek. Agak rusak.” Genangan air di sepanjang jalan mengisyaratkan hujan yang
cukup lama. Suara kodok dan makluk malam lainnya ikut mendukung suasana tidak
menyenangkan.
“Stop.” Perintahnya
dengan nada kesal. Semua instruksinya tidak pernah digubris sama sekali oleh sang
pengemudi. Ia
merogoh saku dan
menghitung duit
untuk membayar. Ia
pun memberanikan diri untuk mencari tahu ihwalnya. Kenapa si abang diam sepanjang jalan bila ditegur?
“Lain
kali hati-hati dong. Kan bukan karung yang abang bawa.”
Candanya menyembunyikan perasaan keki.
Si Abang memutar
kendaraannya. Dengan
kerlingan sinis ia menjawab ketus.
“Bayar
ceng go aja, minta slamet.”
Kedengaran
aksen jawanya yang kental terbawa tiupan angin dan membentur gendang telinga sang lelaki. Asap knalpot bajaj menyembur ke mukanya.
Sang bajaj menghilang dari pemandangan ditelan kegelapan. Hanya suara deru
mesinnya yang berangsur luntur dari pendengaran.
Gontai
langkahnya menyusuri gang-gang sempit dan becek menuju rumah kontrakannya. Ia seakan
tidak percaya akan kejadian tadi
yang barusan dialaminya. Ia hanya mengurut dada sambil
bergumam.
“Seandainya
aku masih sekuat dulu...,” gusarnya dalam hati tanpa menyelesaikan kata-katanya.
Hanya kepalan tangan yang diremas kencang. Ia juga menggigit
bibirnya menahan geram.
Ia terus melempar
kakinya berjingkat memilah-milih tempat berpijak. Tangannya berusaha menghalau
celananya agar tidak menyeret air dan lumpur. Sedangkan tangan lainnya dengan
hati-hati menenteng bungkusan hitam tadi agar tidak jatuh atau terbentur.
Terus ia
melangkah. Pikirannya pun terus berputar. Laron dan serangga malam lainnya
terus mengikutinya. Mereka seperti
ingin menghalang-halangi
untuk mengejeknya.
Kodok
dan jangkrik pun tidak ketinggalan. Dengan suara riuh mereka
bersahut-sahutan. Mereka terus mengiringinya
seolah ingin mengatakan: “Itulah
karma.” Entah!
Rawabuaya,
19 Maret 1998
Comments
Post a Comment