LATIHAN VOLI
“Ma, aku pamit pergi
latihan dulu.” Kataku selalu pada mama sambil cium tangannya. Baru aku
berangkat. Aku tidak pergi keluar rumah tanpa sepengetahuan mama. Malah kalau
dapat ijin baru aku pergi. Kalau tidak, diam di rumah saja.
“Ya. Hati-hati di
jalan. Selesai langsung pulang. Jangan ngelayap.”
Begitu senantiasa balas mama ketika melepasku pergi latihan. Atau pergi ke mana
saja. Ya, namanya juga anak satu-satunya. Pasti di jaga dan diperhatikan
detail.
Aku latihan voli
seminggu tiga kali. Latihannya hari Senin, Rabu dan Sabtu. Latihan mulai jam
tiga hingga jam enam sore menjelang malam. Kadang kalau pelatih sedang ingin
menyampaikan sesuatu menyangkut latihan bisa sampai jam tujuh atau jam delapan
malam.
Aku salah satu
pesemes yang diandalkan di klub ini. Dari awal aku sudah diarahkan untuk
menjadi pesemes. Dalam istilah volinya, spiker.
Aku dilatih dari nol oleh pelatihku yang masih tetanggaku juga. Rumahnya hanya
berselang beberapa rumah dari rumahku.
Metode latihan yang
diberi pelatih ada tiga untukku sebagai calon pesemes. Pukul bola cepat yang
hanya beberapa puluh senti di atas jaring. Lalu bola sedang dengan ketinggian
antara satu hingga satu setengah meter di atas net. Kemudian bola tinggi yaitu
sekitar dua meteran di permukaan jaring.
Di awal-awal latihan
aku hanya memukul bola dari bola mati. Yaitu bola dilambungkan oleh pelatih. Sampai
cara langkah dan lompatku benar. Bila sudah mendapatkan timing yang tepat baru aku memukul bola yang dalam hidup. Yaitu
bola dimainkan hingga tiga kali. Bola ketiga adalah bagianku untuk
menghujamnya.
Untuk pukulan cepat sebelum
bola lepas dari tangan pelatih aku bergerak maju. Aku lompat terlebih dahulu
baru bola datang mengikuti aku. Jadi aku mencegat laju bola di bibir net. Dan
menghantamnya dengan telapak tanganku yang terbuka normal.
Pola langkah ketika
cara memukul atau semes bola voli adalah sama. Yaitu satu langkah panjang. Dua kaki
bertumpu dalam keadaan terbuka selebar bahu. Lompat secara eksplosif dan pukul.
Yang membedakannya adalah
pada pergerakan bola. Kalau pukulan cepat, begitu bola muncul di permukaan net
langsung aku pukul. Jadi bola tidak kubiarkan semakin tinggi. Seolah bola
datang menghampiri telapak tanganku.
Sedangkan kalau bola
sedang dan tinggi aku melangkah ketika bola lepas dari tangan pelatih. Dan melompat
saat bola berada pada titik ketinggian maksimal. Pada saat aku lompat bola
turun maka kamipun bertemu di atas jaring yang membentang membelah lapangan.
Untuk bola cepat aku
pukul lima puluh bola. Begitu juga dengan bola sedang dan bola tinggi. Kalau
sudah seratus lima puluh bola baru aku dibolehkan istirahat. Dan meneguk air
yang selalu kubawa sendiri di botol.
Setelah itu masuk set
kedua, ketiga. Dan seterusnya. Setiap latihan aku harus menghabiskan minimal
lima set. Kemudian kami akan bermain. Membentuk tim dengan semua pemain yang
ikut latihan saat itu.
Kami sering latihan
secara berselang seling. Kadang hanya latihan teknik sesuai posisi
masing-masing pemain. Yaitu latihan menggunakan bola. Biasanya yang dilatih
adalah pesemes dan pengumpan yang dalam istilah volinya, toser. Kadang juga kami hanya latihan fisik.
Kalau hari latihan
fisik, kami hanya melulu untuk memperkokoh fisik saja. Kami biasanya diberi
latihan daya tahan, kecepatan, kekuatan, kelincahan. Dan yang lainnya.
Latihannya hanya satu bentuk saja. Atau bisa kombinasi dari dua bentuk latihan
atau lebih.
Itu adalah agenda
latihan rutin kalau tidak ada pertandingan penting. Kalau sedang menghadapi
sebuah pertandingan atau turnamen berbeda lagi latihannya. Kami hanya melakukan
pemanasan lalu membagi tim dan bermain. Kami hanya berlatih menyatukan
kekompakan dan strategi.
Aku tidak pernah
merasa bosan. Tidak pernah mengeluh. Tidak pernah merasa loyo. Aku bukan tipe
perempuan cengeng. Selalu bersemangat. Karena pelatihku memiliki ketegasan dan
sering memotivasi kami untuk meraih yang terbaik di setiap latihan.
Selain itu karena dia
adalah tetangga dekatku. Mungkin juga karena hatiku sudah terpaut padanya.
Entah! Tapi itulah yang aku rasakan selama berlama-lama latihan bersamanya.
Bersama teman-teman.
Setiap kali mau
latihan aku membonceng di motor abang. Dia mampir di rumah untuk minta ijin
mama dan kami pergi. Jarak rumah dan tempat latihan kurang lebih dua kilometer.
Tak jauh. Kami hanya menempuhnya antara lima sampai sepuluh menit. Jalannya pun
santai. Tidak perlu ngebut.
Terkadang juga aku
pergi dan pulang dengan jogging.
Sekalian untuk latihan daya tahanku. Seorang pemain voli harus memiliki daya
tahan tubuh yang baik. Malah harus prima. Dengan daya tahan yang baik dan prima
aku mampu bermain hingga lima set. Dengan kualitas semes yang tetap tajam
mematikan.
Padahal aku baru
berusia lima belas menjelang enam belas tahun. Kata orang masih usia labil.
Usia coba-coba. Usia mencari jatidiri. Dan masih banyak lagi istilah yang
disematkan pada anak-anak remaja seusiaku.
Tapi aku merasa tidak
sedang mencoba-coba latihan voli. Aku tidak juga sedang mencari jatidiri lewat
latihan voli. Aku sudah mantap memilih voli sebagai ajang atau wahana berkarir.
Aku ingin menjadi pemain voli nasional yang mengharumkan Indonesia. Karena itu,
aku selalu serius latihan.
Aduh, sampai lupa memperkenalkan
nama. Saking semangatnya aku bercerita
tentang kegiatan yang aku tekuni. Maaf para pembaca sekalian. Aku harap Anda
tidak kurang hati dengan sikap cerobohku. Sekali lagi, maafkan aku. Biar
kukenalkan diri dulu. Supaya ceritaku tidak tersendat mengganjal.
Aku diberi nama keren
oleh mamaku: Wilhelmina Debora Armando Chaesmethann. Tapi orang-orang hanya
mengenalku dengan nama panggilan. Nama yang mereka ambil dari suku kata kedua
dan ketiga dari nama depanku: Helmi.
Itu adalah nama
panggil di mana pun aku ada. Di rumah. Di sekolah. Di tempat bermain. Di tempat
kumpul bersama teman-teman. Di tempat latihan. Di mana-mana mereka semua
memanggilku Helmi.
Kalau hanya mendengar
nama panggilku orang akan berpikir aku anak laki. Berkaca dari nama artis layar
kaca seperti: Helmy Yahya yang kondang itu. Atau Helmi Nasution yang ada di
sekolahku. Kadang kami memanggilnya Ucok saja karena dia orang Batak. Mereka
adalah lelaki. Tapi suer, aku
perempuan tulen. Asli. Aku perempuan yang feminin.
Sedangkan bila hanya
melihat nama belakangku orang akan bilang aku bukan asli Indonesia. Peranakan.
Yang kata orang, indo. Yaitu campuran
darah orang Indonesia dan darah orang luar, bukan Indonesia.
Entah benar apa tidak
artinya indo itu seperti yang mereka
maksud. Aku tak terlalu masalahkan. Toh aku tidak meminta dilahirkan demikian.
Jadi aku nikmati saja keberadaanku apa adanya.
Nah, supaya terang
benderang biar aku ceritakan. Aku juga tidak jelas asal keturunanku. Yang pasti
mamaku orang Jawa asli. Dari Jawa Tengah. Berarti asli Indonesia. Indonesia
tulen.
Kalau papa aku belum
pernah ketemu sejak lahir. Jadi aku tidak kenal. Nanti kalau pembaca ada
informasi tentang papaku bolehlah aku diberitahu supaya aku temui. Karena
bagaimanapun ia papaku.
Semoga dalam waktu
yang tidak lama ke depan aku sudah dapat kabar. Kabar gembira tentang papa dari
para pembaca. Untuk itu, walau belum terjadi aku patut manyatakan rasa hormat
padamu. Terima kasih banyak teman-teman.
Jadi, sekali lagi,
sejak aku kenal dunia aku tak kenal papaku. Aku hanya hidup berdua dengan mama.
Mama juga belum pernah menceritakannya padaku. Foto sepotong setengah wajah pun
tidak ada. Tidak ada gambar tentang papaku jadi aku pun tak bisa
menggambarkannya padamu.
Maafkan aku.
Gambarnya saja tidak ada apalagi informasi keberadaannya. Aku gelap. Semoga
papa masih hidup. Dan semoga suatu saat kelak kami bisa bertemu dalam suka. Aku
tak mampu mendeskripsi seperti apa papaku. Mungkin keberadaan diriku adalah
gambar papaku. Duplikatnya.
Teman-teman! Aku masih
duduk di kelas delapan atau kelas dua esempe.
Sekalipun demikian aku sudah memiliki tinggi badan lumayan. Di atas rata-rata
anak seusiaku. Malah di kelasku aku paling tinggi. Dengan tinggi 172 senti
meter aku malah melebihi anak-anak laki. Mungkin aku dapat warisan tinggi
keturunan dari papa. Entahlah! Tapi begitulah kenyataannya.
Aku belum dapat
informasi yang pasti apakah keberadaan diriku adalah duplikat papa. Dari tinggi
dan nama serta wajah indo-ku. Karena
badan mama tidak tinggi. Wajahnya pun sangat Indonesia. Mungkin mama masih
sengaja merahasiakannya padaku. Atau mama mau bikin kejutan? Entah! Walahualam!
Karena tinggi badanku
yang lumayan tinggi aku diajak latihan voli oleh abang yang tetanggaku. Seperti
yang kuutarakan di atas. Dia datang bilang mama (membujuk, tepatnya) untuk
melatihku menjadi pemain voli. Mama tidak keberatan. Ia membolehkanku berlatih
voli bersama abang.
Dengan tinggi di atas
rata-rata aku terbiasa menyemes yang mematikan. Aku suka mengambil
ancang-ancang yang panjang. Dengan demikian aku bisa optimal memukul. Selain
itu juga gampang aku mengincar tempat yang tepat untuk jatuhkan dan mendaratkan
bola.
Dalam suatu
kesempatan bertanding antarklub aku bermain. Kedudukan dua lawan dua. Klub kami
dapat dua set. Lawan kami memperoleh dua set juga. Kami imbang. Dan ini adalah
set kelima. Set penentuan. Siapa pun yang memenangkan set kelima ini dia
menang. Dia juara.
Selain sudah di set
kelima, juga sudah berada di situasi kritis. Siapa pun yang membuat kesalahan
pasti kalah. Angka saling kejar-mengejar. Perbedaannya hanya satu atau dua poin
saja. Ini perang strategi antarpelatih. Dan saling menguji kecerdikan
keterampilan antarpemain.
Aku selalu
mengkombinasikan antara pukulan tajam dan sentuhan maut. Pukulan tajam dengan
semes menggelegar yang menghancurkan blok lawan. Sentuhan maut hanya dengan
menepis tipis pada bola dan jatuhkan di tempat tak terkawal. Sentuhan maut
adalah suatu teknik yang membuat emosi lawan terkikis teriris.
Pelatih melakukan time out atau meminta waktu pada wasit.
Waktu ini dipakai pelatih untuk memberi arahan dan mengatur strategi baru.
Sekaligus memberi jeda agar kami bisa sedikit memulihkan tenaga. Kami juga
gunakan kesempatan itu untuk dapat meneguk beberapa tetes air pembasah
kerongkong yang kerontang.
Setelah kembali ke
lapangan kami bermain dengan lebih fokus. Kami bermain dengan cara mengurangi
tempo permainan sesuai arahan pelatih waktu time
out. Tetapi kami terus mengincar tempat lowong untuk menempatkan bola di
situ. Aku mendapat kesempatan semes. Dengan lompatan terbaikku aku menghajar
bola dengan pecutan tangan yang mengagumkan.
Dua orang
penghadangnya aku belah. Tembus pertahanannya. Bola jatuh tepat sasaran. Poin
bertambah sekaligus menutup permainan. Angka kemenangan kami raih. Semua
pendukung kami bertempik sorak menyambut angka juara. Setelah menyemes aku
mendarat dengan dua perolehan sekaligus. Menjadi juara baru yang gemilang. Dan menjadi
ibu barudari anak laki yang kuberi nama Gilang.
Yolis
Y. A. Djami (Tilong-Kupang, NTT)
Kamis, 11 Juni 2020 (15.03
wita)
JOSS
ReplyDeleteHatur nuhun, Omjay!
Delete