KEJUJURAN
Aku mendapatkan
menangkap sekelompok kata bahasa Inggris secara tidak sengaja ketika sedang
berteduh. Waktu itu aku sedang berteduh menghindari hujan. Berlindung di bawah
tenda salah satu lapak penjual berbagai asesoris. Di seberang jalan depan Pasar
Senen, Jakarta Pusat.
Lokasinya di sebelah
kiri jalan sebelum lampu merah Senen. Atau sebelum jembatan layang Senen. Dari
arah Cempaka Putih akan melewati stasiun kereta api dan pertigaan
sesudahnya.
Itu terjadi di
sekitar tahun 1987. Ketika aku berteduh di sana karena hujan. Mataku tak
sengaja melihatnya. Kata-kata itu tergantung di antara begitu banyak barang
pajangan untuk dijual. Kata-katanya terukir di selembar papan tipis kecil
dengan hiasan apik.
Kata-katanya terukir
dalam tiga baris. Baris satu judul dengan huruf kapital. Dua baris selanjutnya
adalah isinya. Tertulis dalam huruf kecil kecuali huruf depannya. Demikian
kumpulan katanya!
HONESTY
Honesty
is the first chapter
Of
the book of wisdom
Aku kagum dan jatuh
cinta padanya. Kekagumanku kujatuhkan pada makna yang tekandung dalam kumpulan
kata tersebut. Juga kagumku pada orang yang menelorkannya. Ia pasti seorang
yang sangat bijaksana.
Tidak ada penjelasan
lebih lanjut mengenai kata-kata itu. Dia memberi kebebasan berpendapat bagi
siapa saja yang membacanya. Pembaca bebas menentukan artinya sesuai pemahaman
yang dimiliki. Apapun otak atik pikiran pembaca, silakan.
Aku mencoba
memaknainya sebatas logikaku bekerja. Dan logikaku menerimanya utuh. Bahwa
kejujuran itu adalah bab pertama dari sebuah buku keren yang berjudul
KEBIJAKSANAAN. Memang untuk menjadi orang bijaksana, harus dimulai dengan
bersikap jujur. Landasan atau anak tangga pertama kebijaksanaan adalah
kejujuran.
Jujur harus dimulai dari diri sendiri.
Sekalipun nanti banyak orang yang tidak percaya pada kejujuran itu. Tetaplah
jujur. Bersikap jujur juga pada diri sendiri. Jujur pada orang lain. Dan jujur
pada Tuhan.
Tidak gampang
bersikap jujur. Sebab ketika seseorang bersikap jujur, belum tentu orang lain
menerimanya. Kejujuran kadang mendatangkan hardikan dari orang yang mendengar.
Padahal apa yang disampaikan adalah kejujuran hakiki.
Nanti aku akan beri
beberapa contoh padamu, kawan. Contoh tentang kejujuran yang tak dipercayai
walaupun itu sebuah kejujuran yang paling jujur. Sungguh sulit mengajak orang
percaya pada sebuah kejujuran.
Dunia ini memang
sudah amburadul. Sudah terbolak balik. Di saat orang berkata jujur dibilang
bohong. Ketika berbohong justru diterima dengan senang hati sebagai suatu
kejujuran yang hakiki.
Aku contohkan dari
diriku sendiri saja.
Aku terlahir sebagai
perempuan. Itu karunia dan berkat yang harus aku syukuri. Tidak terlalu cantik.
Tapi juga tidak jelek amat. Itu penilaianku atas diriku sendiri. Tapi biarlah.
Soal cantik atau tidaknya diriku biar nanti calon pasanganku yang akan pas
memberi penilaian.
Biar kuceritakan
hubungan cantik dengan kejujuran. Aku seorang mahasiswi yang kurang rajin
kuliah. Tapi aku pengen jadi sarjana. Maka aku berkata jujur pada dosenku
tentang keberadaanku.
Aku berkata jujur
bahwa banyak matakuliah yang tidak tuntas. Maksudku supaya bisa diberi
kesempatan mengulang pada semester di mana seharusnya matakuliah itu aku
tuntaskan.
Tapi kawan, kautahu
apa yang terjadi dengan kejujuranku? Dia tidak marah. Dia juga tidak menyuruhku
kuliah. Dia justru memberi penawaran yang membuatku merem melek. Dia bilang: “Cantik-cantik
malas. Tapi okelah. Gampang diatur itu.”
Aku kesal dalam hati
dengan ucapan awalnya. Tapi aku berusaha menguasai diri. Lalu aku
mengklarifikasi: “Maksudnya?”
“Tenang saja. Saya
akan atur semuanya. Tapi ada syaratnya!”
“Apa syaratnya, Bu?”
Tanyaku mendesak.
“Siapkan uang saja.
Bayar saja per eskaes. Selesai.” Aku terhenyak mendengar tawaran itu. Tapi aku
berlagak netral. Aku berusaha setenang mungkin.
“Berapa per
eskaesnya, Bu?”
“Gini. Berapa
semester Anda tidak hadir, lalai kuliah? Tidak aktif maksudnya.”
“Seingat saya tiga
semester. Tapi saya juga kurang yakin. Ya, semoga saya tidak terlalu keliru.”
Uraiku detail.
“Ya, sudah. Siapkan
saja uang. Sekian jumlahnya. Kalau kamu mau sekalian saja bawa ini, ketik lalu
ajukan untuk ujian proposal. Tapi yang ini lain hitungannya.” Dia menyebutkan
satu angka. Biarlah angka itu menjadi bagianku saja. Pembaca tidak aku beritahu
karena ini menyangkut harga diriku sebagai perempuan cantik.
Dia juga mengajakku
berlaku curang dengan mengkopi skripsi orang. Dia memaksaku untuk cepat menjadi
sarjana. Sarjana berotak kosong. Tujuannya mulia supaya lekas diwisuda. Tapi
caranya jorok bin kotor. Entah sudah berapa banyak mahasiswa yang ia jerumuskan
ke dalam jurang dengan kejujuran yang bahlul?
Ada keponakanku juga
punya pengalaman dihardik gegara kejujurannya. Dia baru duduk di bangku esempe
kelas tiga. Baru naik kelas sembilan. Dia menceritakan bagaimana ia jujur
tentang kehadirannya secara daring. Makhlum semua aktivitas dilakukan berbasis
teknologi informasi.
Setelah belajar lewat
WA, ia beritahu gurunya bahwa ia tidak bisa mengisi daftar hadir. Tidak bisa
isi karena tidak bisa login. Tidak bisa login karena internet lelet. Sinyal
parah. Tapi jawab gurunya: “Sinyal parah kok bisa ngobrol di WA?”
“Saya juga kurang
tahu, Pak!” Balas keponakanku. Lalu keponakanku berespon kembali dengan cara
mengalah.
“Biar saja, Pak!
Kalau saya dianggap bohong, biarlah saya alpa. Tidak isi daftar hadir juga
tidak apa-apa. Yang penting saya sudah jujur. Terima kasih, Pak!”
Bapak gurunya
membalas dengan segala nasihat ala guru. Ia menjelaskan panjang lebar tentang
bagaimana seorang anak harus berkata dan bersikap jujur. Bahwa kalau ingin jadi
orang bijaksana haruslah jujur. Jujur dalam hal apapun. Jangan suka berbohong.
Dan masih panjang
lagi pak guru yang terhormat memberi wejangan. Padahal keponakanku sudah jujur
sejujur-jujurnya. Kan sinyal tidak bisa diatur siapapun. Sinyal punya kehendak
bebas. Bebas datang. Bebas pergi. Sesukanya saja. Ya, sudahlah!
Lain lagi dengan
temaku. Bukan teman karib. Tapi aku kenal dekat. Kadang kami saling berbagi
informasi yang menguras rasa. Dia juga mahasiswi dari kampus lain. Kami tidak
sekampus. Bidang keilmuan kami pun berbeda.
“Aku curhat sama
dosenku tentang situasi kuliahku. Bahwa ada satu matakuliahnya yang belum
tuntas. Aku tidak lulus. Jadi aku datang berkonsultasi. Tapi kautahu apa
solusinya?” Tanyanya tetiba diakhir uraiannya.
“Entah! Kan, kamu
yang punya masalah dan kamu sendiri yang bersama dengan dosenmu. Masa aku
ditanya apa solusinya?” Balasku dengan pernyataan pertanyaan. Lalu dia luruskan
maksudnya.
“Aku tidak bermaksud
menanyakan padamu apa solusinya. Aku justru sedang ingin memancing
keingintahuanmu tentang solusi yang bakal diberikannya.” Jawabnya menenangkan.
“Jadi, apa solusinya.”
“Dia jujur memintaku
tidur dengannya secara suami istri. Gila!”
“Lalu?” Aku
mengejarnya bertanya dengan rasa penasaran yang teramat sangat. Aku sungguh
penasaran dan ingin tahu apa akhir cerita temanku ini. Aku rasa ceritaku yang
paling heboh. Ternyata ceritanya lebih gila. Sadis. Diapun menjawab pertanyaan
penasaranku.
“Dengan sopan jujur
kubilang padanya bahwa aku tidak bisa.” Mendengar penuturannya aku bergidik.
Tapi darahku mendesir dalam gemas. Betapa luar biasa jujur dalam kebobrokan.
Apa boleh buat. Ada saja yang dunia ciptakan setiap saat.
Ada lagi yang lebih
sembrono. Temanku ini seorang guru. Dia laki-laki tulen. Suatu saat dia
memberitahu muridnya bahwa dia tidak lulus mata pelajaran yang temanku ampu.
Muridnya perempuan. Anak esema kelas XI. Pemberitahuannya pun hanya lewat
aplikasi WA di telepon pintar mereka.
Hanya lewat WA karena
tidak ada pembelajaran dalam kelas. Sejak pandemi covid sembilan belas ini
semuanya dilakukan secara daring. Belajar daring. Ujian daring. Penilaian
daring. Pengumuman daring.
Mendengar kejujuran
temanku tentang berita ketidaklulusannya dia tidak menyesal. Dia justru berdiri
tegak. Malah berkacak pinggang dan menantang sang guru yang temanku ini. Dia
yang anak perempuan remaja balik menyerang guru lelaki yang terpaut jauh
usianya.
Katanya via WA:
“Bapak mau apa? Saya ladeni!” Tentunya ia berbicara secara pribadi. Atau japri
istilah kerennya.
“Apa maksud kamu,
bapak mau apa?” Temanku balik bertanya ingin tahu lebih jelas.
“Bapak jangan
berlagak kura-kura dalam perahu. Tidak usah berpura-pura tidak tahu. Bilang
saja, apa yang bapak mau?” Dia tetap bertahan dengan tawaran yang samar.
“Mau saya kamu
remedial. Belajar lebih giat biar saat tes bisa kerjakan dengan baik dan lulus.
Selesai.” Jujur temanku menguraikan keinginannya sebagai guru.
“Ah, itu cara kuno.
Terlalu lama. Saya mau yang cepat. Singkat. Jalan pintas saja diambil.”
Balasnya jujur tanpa tedeng aling-aling.
“Gimana maksudnya?
Saya kurang mengerti maksud kamu. Coba perjelas lagi lebih detail.”
“Ok. Bapak mau uang
atau yang lain dari saya?” Desaknya makin mempersempit topik diskusi.
Temanku memberitahukan
semua percakapan mereka yang membuat aku mual. Aku merasa terhina sebagai
perempuan. Karenanya aku tak akan melanjutkannya kepada Anda, pembaca yang
budiman.
Aku malu sebagai
perempuan. Dan rasanya bukan hanya aku yang malu. Semua kaum hawa akan
terinjak-injak harkatnya kalau aku ceritakan. Ah, sembarang yang paling
semberono bin konyol.
Dalam kehernanku aku
bertanya. Mengajukan pertanyaan yang tak akan pernah terjawab. Dari mana anak
ini belajar menawarkan diri menggantikan nilai ulangan? Aku sungguh tak sanggup
lagi berkata-kata. Memikirkannya pun aku
segan.
Teman, aku tetap
mengajakmu untuk senantiasa jujur. Seperti yang kubilang di awal. Tapi jangan
jujur yang keliru. Jangan bersikap jujur yang merusak kejujuran itu sendiri.
Biarlaj kita berpikir, berkata dan bersikap jujur demi kejujuran itu.
Kawanku! Sebenarnya
masih ada beberapa cerita lagi tentang kejujuran ini. Tapi aku rasa engkau pun
akan menolak kejujuranku bercerita. Jika cerita tentang kejujuran yang jujur
kucerita tetap sama seperti cerita jujur yang telah kuceritakan.
Jadi sebaiknya aku
pamit mundur. Aku tak sanggup lagi bertutur. Karena jujur aku sudah terlanjur
hancur dengan cerita jujur yang tak jujur. Yang menghancurkan kejujuran itu
sendiri.
Cerpen
ini kudedikasikan kepada sedulur yang gemar bertutur jujur!
Yolis
Y. A. Djami (Tilong-Kupang, NTT)
Selasa,
9 Juni 2020 (15.17 wita)
Mantap
ReplyDeleteTerima kasih, Abang!
Delete