JOGGING


“Ma, aku jogging dulu. Hanya di dalam komplek sini saja.” Ujar suamiku pamit. Ia keluar pukul lima lewat tiga puluh pagi. Anak-anak masih meringkuk di kamar masing-masing. Hanya kami berdua yang sudah bangun.
Aku tak ikut karena banyak hal yang harus kutangani. Aku siapkan sarapan untuk seisi rumah. Jadi aku mengalah tidak jogging. Selain itu, aku juga merasa kurang sehat untuk lari pagi. Mungkin nanti sore bisa. Semoga!  
Aku dan suamiku suka jogging. Biasanya kami jogging di gor. Komplek kegiatan olahraga yang ada di kota kecil kami. Sebuah komplek tempat menempa anak-anak muda Indonesia di kota kami dalam bidang olahraga.
Di komplek ini ada lapangan sepakbola. Di sana juga ada gedung tempat perhelatan olahraga diselenggarakan. Ada gedung khusus untuk beberapa cabang olahraga beladiri. Ada asrama atlet dan pengurus komite olahraga. Dan sebagainya.
Aku dan suami lebih cenderung jogging di komplek olahraga ini. Daripada jogging di taman kota. Karena menurutku mayoritas mereka yang berolahraga di komplek olahraga memiliki tujuan berolahraga yang sesungguhnya. Mungkin ada yang  hanya ikut-ikutan. Tapi presentasinya kecil.
Sedangkan kalau di taman kota kecenderungan orang adalah cuci mata. Cuci mata terhadap keindahan. Keindahan tata tanaman taman kota. Keindahan tampilan dandanan dan paras para pengunjung yang ada di ujung-ujung taman. Memang, indah nian.
Belum lagi para penjaja makanan yang berjejer. Mereka membeber jajanan segar di seputar taman. Itu menjadi penghambat bagiku secara pribadi. Indah, ya. Pasti. Tapi rasanya sehabis jogging malah tidak sehat. Jadi aku lebih memilih berolahraga lari di gor daripada taman kota.
Kami biasanya bertemu teman-teman lainnya di sana. Di komplek olahraga yang megah nan asri ini. Kami bersama-sama jogging atau jalan cepat mengitari gor. Putarannya tergantung kemampuan masing-masing.
Aku paling sedikit lima putaran, paling top sepuluh putaran sudah rehat. Suamiku bisa sampai lima belas atau dua puluh putaran. Sedangkan teman-teman lain lebih banyak lagi. Ada yang sampai tiga puluhan putaran
Kalau hendak berangkat jogging kami selalu mengenakan kaos oblong dan celana trening. Dan sepatu kets bertali. Tidak lupa kami mengenakan kaus kaki tebal. Itu demi mencegah iritasi di kaki.
Kami selalu mengenakan pakaian yang enak. Enak dirasa enak dipandang. Enak dirasa saat beraktivitas. Tidak mengganggu gerakan badan. Enak dipandang oleh orang lain. Tidak menyebabkan mereka tersandung pikiran yang tidak tidak.
Aku tak mau dan tak sudi mengenakan pakaian ketat. Kaos ketat celana ketat. Semua ketat melekat melengket di kulit. Bagiku itu menyiksa diri. Sebab akan menghambat peredaran darah. Menghambat leluasa udara masuk keluar paru  juga.  
Aku selalu menyiapkan air minum di dua botol. Satu botol untuk suamiku dan yang satu lagi untukku. Selain minum aku juga siapkan handuk kecil. Aku suka membawa handuk berwarna orens. Sedangkan suamiku, hijau.
Jogging adalah lari perlahan dalam waktu yang cukup lama. Tapi kami biasa variasikan dengan jalan cepat. Bahkan jalan biasa. Tapi dengan target sekian putaran gedung olahraga. Jadi bukan bersantai-santai. Bukan juga jalan santai.
Kami berdua melakoni ini demi memperkokoh imunitas tubuh. Imunitas ini penting sebagai benteng pertahanan diri. Pertahanan terhadap serangan virus mematikan yang menggemparkan dunia. Covid Sembilan belas.
Tidak setiap hari kami selalu berdua. Terkadang atau malah sering pula dia sendirian. Karena aku harus di rumah melakukan aktivitas yang rutinitas sebagai ibu rumahtangga. Ya, aku bukan wanita karir tapi tetap berkarir.
Aku berkarir sebagai ibu dari anak-anakku. Berkarir sebagai istri pendamping pelayan suami. Berkarir sebagai garda pertahanan kekokohan keluarga. Berkarir sebagai moderator pengompak pemersatu keluarga.
Karena karirku itu aku tak selalu mendapingi suami jogging. Sebuah karir yang hanya terpikir oleh segelintir perempuan. Karir yang fakir popularitas tapi tajir kapasitas. Maka hanya di kala longgar aku ikut. Di saat tak sibuk aku nimbrung.
Kalau aku tak ikut suami hanya jogging di sekitar rumah. Di dalam komplek perumahan di mana kami berdomisili. Perumahan yang tidak terlalu luas. Tapi cukup besar untuk ukuran kami jogging.
Dia tidak berselera jogging di gor tanpa aku. Entah kenapa? Tapi aku juga tak berselera menggali ihwalnya. Aku hanya menerka reka saja dalam benak sendiri. Mungkin dia merasa janggal ganjil jogging sendiri. Sementara teman-teman lain bersama pasangannya masing-masing.
Atau mungkin karena usia pernikahan yang sudah lumayan banyak sehingga kami berdua sulit pisah. Sekalipun hanya dalam waktu tak seberapa lama. Orang menganalogi situasi ini dengan mengibaratkan kuku dan daging. Keduanya senantiasa satu menyatu. Padu. Entahlah!
Apapun itu aku tak terlalu persoalkan. Toh, aku dan kekasihku yang jantung hatiku yang suamiku ini senantiasa saling terbuka. Tak ada tersembunyi di antara kami. Aku dan suamiku saling percaya secara sadar penuh.
Kami tetap mengikat diri pada janji suci kami. Sumpah janji saat awal kami berikrar di depan jemaat dan Tuhan. Janji ini tidak boleh ternoda. Dan tak akan ternoda. Itu tekad kami sampai mati. Baik sengaja ataupun tidak. Kami berdua memiliki saling percaya yang tak gampang digoyang oleh apapun.
Aku sering dengar orang-orang pintar bilang personal commitment. Maaf kalau salah tulis! Maklum aku hanya seorang perempuan tak berpendidikan tinggi. Perempuan yang nir gelar secara akademis. Aku bersekolah hanya sebatas bisa baca tulis saja. Maka bila dalam ceritaku ini ada banyak kekeliruan, maafkanlah.
Hari ini selain karena banyak kerjaan, aku juga kurang enak badan. Itu sebabnya, aku tinggal di rumah saja. Tidak ikut jogging. Suami saja yang berolahraga ringan. Lari pelan keliling-keliling di dekat rumah saja. Tidak ke gor.  
Sekitar setengah jam berkeliling jogging, ia pulang. Sesampai di rumah dia minta aku buatkan teh panas. “Ma, minta teh manis panas, ya. Papa ke kamar mandi dulu. Udah kebelet nih.” Aku menjawab singkat: “Iya, sayang!”
Sepuluh menit belum keluar. Lima belas menit. Setengah jam. Belum juga keluar. Aku panggil putra sulungku untuk melihat suamiku di toilet. Kenapa lama? Pikiranku jadi tidak karuan dibuatnya.
“Bung, tolong cek Papa di toilet dulu. Dari tadi belum keluar. Sudah setengah jam lewat.” Aku meminta anakku menengok suamiku. Aku bertanya dalam diam membatin dengan ketar-ketir. “Kenapa Papa?” Tapi aku berusaha tegar. Kukuatkan diri sekuat-kuatnya.
Anakku menuju toilet dan memanggil tapi tanpa jawaban. Pintu kamar mandi terkunci rapat dari dalam. Ia mengetuk menggedor pintu dan terus memanggil beberapa lama. Tak ada respon dari suami di dalam wese.
Tanpa menunggu lama dan berpikir panjang anakku dobrak pintu kamar mandi. Oh, Tuhan! Suamiku masih tetap berjongkok di kloset. Ia tersandar di tembok dengan bahu kirinya. Diam tak bergerak dengan muka pucat yang teramat. Sungguh pilu kulihatnya. Seketika kuhancur.
Putraku langsung menggendong papanya. Ia membopong memboyong ke tempat tidur kamar kami. Dia berusaha memompa jantung papanya, ya, suamiku. Ia beri napas buatan. Lalu memompa lagi jantungnya. Demikian berkali-kali dalam kurun yang lumayan lama. Suamiku tak berespon. Ia diam terus dan selamanya.

Cerpen ini kudedikasikan untuk mengenang mendiang Drs. Joseph Matakupan
(mantan dosenku di FPOK IKIP Jakarta 83-88)!




Yolis Y. A. Djami (Tilong-Kupang, NTT)
Minggu, 21 Juni 2020 (21.31 wita)



Comments

Popular posts from this blog

TIDAK PAKE JUDUL

POIRHAQIE de KRISSIEN

TERKONDISI SEBAGAI ORANG SISA-SISA