HUBUNGAN EMOSIONAL


Aku selalu bersama-sama sekeluarga pergi beribadah. Setiap kebaktian hari Minggu kami selalu bersama-sama menuju gereja. Entah ibadah pagi, siang atau sore. Yang pastinya selalu berbarengan ke gereja.
Kami hanya berempat jadi tidak sulit mengorganisanya. Kami bisa pergi dengan kendaraan umum. Bisa dengan mengendarai motor berboncengan dua tiap kendaraan. Atau bisa juga hanya dengan jalan kaki. Bebas memilih menentukan cara mana mau diambil.
Suatu hari Minggu kami sedang bergereja di GBI Bethany Makassar. Sekarang bernama YHS Church. Gereja ini berlokasi di Jalan Gunung Latimojong nomor tiga puluh sembilan, Gaddong Kecamatan Bontoala, Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
YHS Church adalah gereja yang besar di pusat kota Makassar. Gedungnya megah. Terdiri dari beberapa lantai. Dan memiliki ruang ibadah yang luas dan berbalkon. Ia Bediri kokoh di pinggir jalan utama.
Kami mengikuti kebaktian pagi yang dimulai jam enam wita. Kami biasa duduk di barisan tengah agar seimbang. Maksudnya biar bisa melihat ke segala arah dengan nyaman. Juga mendengarnya pas karena pengeras suara ada di kiri kanan panggung. Jadi pandangan mata imbang, pendengaran suara imbang.
Urutan duduk di dalam gereja senantiasa sama. Saya dan putra saya memposisikan diri duduk di ujung-ujung. Saya di ujung yang satu dan dia di ujung lainnya. Di tengah kami berdua duduk istri dan putri saya. Jadi kami yang laki mengapit mereka yang perempuan.
Saya biasanya menempati kursi paling pinggir. Kursi di sebelah saya pasti ditempati istri. Kemudian diikuti anak perempuan saya di sebelah istri. Dan yang terakhir putra saya duduk paling ujung sebelah kakaknya.
Pemimpin pujian menyampaikan bahwa pengkhotbahnya adalah Pastor Jojo yang akan menyampaikan firman Tuhan. Beliau adalah seorang muda potensial yang energik. Beliau berasal dari Jakarta. Dan beberapa informasi lainnya tentang sang pengkhotbah.
Setelah Pastor Jojo berada di atas mimbar spontan saya katakan kepada istri dan anak-anak saya: “Itu murid papa dulu di SMA Tunas Karya Kelapa Gading, Jakarta Utara.” Padahal beliau belum memperkenalkan nama.
Sesudah berdoa, dia memperkenalkan diri dengan berkata: “Nama saya sebenarnya adalah Yoanes Kristianus.” Ketika dia menyebut namanya saya tambah yakin bahwa dia pernah menjadi murid saya.
Kenapa saya bisa begitu yakin? Karena setiap mengajar di mana saja saya selalu memanggil nama mereka untuk mengisi daftar hadirnya. Saya selalu akrab dengan anak-anak murid di mana pun saya mengajar. Guru selalu ingat murid-muridnya. Semoga!
Selesai berkhotbah dia langsung pamit kepada seluruh jemaat. Tidak bisa mengikuti kebaktian itu hingga selesai karena harus ke tempat lain. Dia bergegas meninggalkan ruangan menuju kendaraan yang akan ditumpangi ke tempat lain menyampaikan firman Tuhan pula.
Saya mengikuti membuntutinya dari belakang. Mobil yang akan membawa mengantarnya sudah siap di depan pintu gereja dengan pintu terbuka maksimal. Saya mengagetkan mencegatnya ketika satu kakinya sudah di dalam mobil.
Dia tidak jadi memasukkan badan ke perut mobil. Dia tertegun mematung mendengar salam saya. Salam dari orang yang tak dinyana. Yang mungkin tak pernah ada dalam bayangannya akan bertemu saya. 
Saya dekati dan menyapanya. Sambil bersalaman saya bertanya: “Bapak masih ingat saya?” Raut wajahnya berubah seketika. Tapi dia tetap memberi respon.
“Siapa, ya?” Tanyanya heran. Dan pastinya dia tidak ingat. Karena kami terakhir bersama di tahun 1995. Saat kami kembali ketemu itu di tahun 2010. Berarti kurang lebih lima belas tahun jeda. Suatu durasi waktu yang lumayan lama.
Sang sopir yang sudah siap dari tadi juga kelihatan bingung. Tapi dia tidak berkata apa-apa. Lalu saya katakan lagi: “Bapak lulusan SMA Tunas Karya Kelapa Gading, Jakarta Utara, kan?”
“Loh, kok tahu?” Jawabnya balik bertanya dalam keheranan.
Saya tidak membiarkannya berlarut dalam kebingungan. Karena waktunya yang sangat sempit maka saya langsung pada intinya. Saya tidak memperkenalkan nama. Saya hanya memberinya semacam klu atau indikator saja. Sambil berharap cemas semoga dia dapat mengingatnya.
“Saya yang mengajar olahraga waktu itu. Waktu bapak masih sekolah dulu.” Urai saya menjabarkan demi memantik menyulut ingatannya yang samar. Belum selesai kalimat saya dia sudah menyebut nama panggil saya yang biasa mereka kenal.    
“Oh. Pak Joy! Apa kabar, Pak?” Jawabnya tegas dan lantang seraya sedikit berbasa basi ala adat ketimuran. Saya lalu mengucapkan terima kasih atas pertemuan yang singkat itu. Kami pun berpisah.
Saya menceritakan ini sebagai ungkapan rasa bangga atas mereka. Mereka yang pernah menjadi murid saya bertahun-tahun silam. Tetapi kini mereka telah menjadi pribadi-pribadi hebat. Menjadi pribadi panutan banyak orang. Terutama generasi mereka dan generasi sesudahnya.
Selain rasa bangga tadi, saya juga berharap semoga apa yang pernah saya lakukan telah menjadi penutan bagi mereka. Panutan dalam memperkaya kepribadian mereka. Sambil juga berharap semoga hubungan emosional guru-murid tetap ada. Tidak berakhir sekalipun hubungannya sudah terputus secara administratif.                                                                

Yolis Y. A. Djami (Tilong-Kupang, NTT)
Minggu, 7 Juni 2020 (16.04 wita)

Comments

Popular posts from this blog

TEACHER

BERIRING

AKU ADA SEBAGAIMANA AKU ADA KARENA MEREKA ADA BAGIKU