TIGA BELAS
Tiga belas
adalah angka yang tidak menguntungkan, angka tidak menyenangkan, bahkan angka
yang tidak baik, kata para peramal atau orang-orang yang paham dunia
supranatural. Angka tiga belas memberi phobia tersendiri bagi orang yang paham
dan bergaul karib dengan angka-angka. Angka yang memberi prasangka ngeri. Angka
yang meninggalkan kesan pesan angker. Karena takut dan ngeri sebab angker,
angka ini seolah tak pernah ada. Selalu dilewatkan secara sengaja bertanggung
jawab.
Sebagai
bukti kesengajaan tak digunakannya, angka ini tidak pernah dipakai sebagai
perlambang jumlah rumah di komplek-komplek perumahan mewah. Demi menghilangkan
angka tiga belas dari urutan nomor rumah, setelah angka dua belas sebelum empat
belas biasanya dipasang angka dua belas ‘A.’ Sebab pikir mereka, angka ini
seolah merusak masa depan seseorang atau sekelompok orang, bahkan masyarakat
yang lebih luas. Aneh, memang. Tapi itulah kenyataan yang tak bisa ditutuppungkiri.
Tidak
hanya perumahan mewah yang tidak menghiraukan dan tidak menggunakan angka ini. Orang-orang
yang berada di daerah padat penduduk di kota-kota besar pun tak sudi memasang
nomor itu di rumah mereka. Ia juga ditabukan di hotel-hotel mewah. Mereka tidak
mengenal lantai tiga belas. Tidak ada kamar bernomor tiga belas. Sekali lagi,
ketika sampai angka itu mereka ganti dengan dua belas ‘A’ atau dikosongkan
saja. Atau kalaupun ada, itu menjadi kamar misteri. Ia menjadi ruang yang tidak
digunakan untuk beraktivitas normal seperti kamar-kamar lainnya.
Tapi,
percayalah bahwa angka itu mau dipasang atau tidak, digunakan atau tidak
hitungannya pasti. Tak akan meleset. Yaitu sesudah dua belas dan sebelum empat
belas adalah tiga belas. Itu yang diajarkan sejak manusia masih kecil dan sudah
bisa berhitung. Ketika anak manusia bersekolah tidak pernah diajarkan oleh
seorang guru pun bahwa urutan angka atau nomor setelah dua belas adalah dua
belas ‘A’ atau kosong. Harus dan pasti, tiga belas. Di kalender sebagai penanda
jumlah hari yang terpajang tergantung di rumah, sekolah, kantor dan lainnya tetap
ada angka tiga belas. Nomor halaman buku cetak di manapun selalu menggunakan
angka tiga belas.
Sesungguhnya
semua angka atau apapun di dunia ini baik adanya jika kita, manusia
menggunakannya dengan pikiran positif konstruktif. Syukur-syukur dengan rasa
syukur. Kenapa sesuatu yang normal itu menjadi tidak biasa bahkan berbahaya dan
mencelakakan? Proklamator yang orator ulung, Bung Karno pernah berkata dalam
bukunya Penyambung Lidah Rakyat bahwa apapun itu jika kita selalu menaruh hati
dan perhatian yang besar dan selalu maka ia akan menjadi seperti yang kita
harap, kita rasa. Beliau memberi contoh: Keris akan bisa bertuah-khasiat jika
kita perlakukan secara istimewa dengan perhatian yang prioritas terus-menerus.
Demikian
juga dengan angka tiga belas. Kemungkinan karena manusia selalu menganggapnya
sebagai sesuatu yang bermuatan sesuatu maka iapun menjadi sesuatu yang memiliki
sesuatu. Sesuatu yang ditakuti. Sesuatu yang mengerikan. Sesuatu yang angker.
Sesuatu yang membahayakan. Sesuatu yang bisa merenggut nyawa. Sesuatu yang
dalam sekejap dapat melenyapkan dalam senyap. Ya, semua yang negatif, yang
tidak baik, yang tidak menguntungkan bercampur berkelindan di dalam angka itu.
Bukan karena angka itu memiliki kemampuan. Tetapi kita, manusia yang mengisinya
dengan tenaga supranatural setiap saat.
Karenanya
aku berikhtiar mengajak pembaca sekalian yang budiman melupakan tiga belas yang
dari tadi dibahas di atas. Sebaliknya, aku mengajak Anda bergembira bersamaku
menikmati hari ketiga belas di bulan Mei ini. Mari kita rayakan dengan sukacita
penuh syukur sebagai sesuatu yang berlimpah berkah nan amanah. Juga untuk menikmati
menjalankannya sebagai hari ujian iman penuh berkah dengan berpuasa bagi yang
meyakini. Atau untuk merayakan hari bahagia orang-orang terkasih dengan penuh
kasih.
Hari ini,
tanggal tiga belas Mei adalah hari sukacita. Hari bahagia. Ya, hari ini setiap
tahunnya aku dan segenap keluarga besarku merayakan hari ulang tahun mama
tercinta, Cornelia Djami-Loemnanu. Kami senantiasa berkumpul dan berdoa bersama
Mama Cor. Demikian kami memanggilnya. Kami memanjatkan permohonan yang tulus
dalam kerendahan hati agar Tuhan memberinya kesehatan yang baik. Supaya Allah
Sang Pencipta memberinya kekuatan yang baru. Biar Pribadi Yang Mahahadir itu
memberi sukacita kepada mama dalam menjalani keseharian dan hari-harinya masih
akan dilaluinya.
Itu
pemandangan kemeriahan yang sederhana tiga belas Mei tahun kemarin dan banyak
tahun yang telah lama berlalu. Tahun ini kami tak dapat berkumpul bersamanya
lagi. Tak dapat merayakan hari ulang tahunnya lagi. Kami tak dapat berbahagia
bersamanya lagi. Kami tak dapat melantunkan pujian ulang tahun untuknya lagi.
Kami tak lagi dapat berbaris satu per satu dan menciumnya sambil berbisik di
telinganya: “Selamat ulang tahun, Mama!” Kami tak dapat lagi menikmati hidangan
bersamanya. Kami tak dapat lagi untuk selamanya. Karena mama telah tiada. Mama
telah berada bersama Penciptanya.
Ah,
pembaca setiaku! Aku sudak tak mampu lagi menulisceritakan ini selanjutanya. Sebab
aku tak kuasa menahan deraan air mata yang terus berderai. Butir-butir bening
itu terus mengalir mengikuti kata-kata yang terukir bergulir. Ia dengan deras
berderai mengalir bergulir seiras jari jemariku mengetikketuk tuts-tuts huruf. Karenanya,
aku terpaksa harus berhenti berkali-kali menarik napas yang terengah sesak
terisak. Ia menggoda memaksaku untuk berhenti menulisrangkaikan mozaik memori
yang menyerpih mulai berserak.
Namun aku
harus menyelesaikanya. Aku harus menuntaskannya. Biar aku pelan-pelan terus menulis
menuntaskannya untuk Anda, pembaca setiaku. Dan sebaiknya aku menulisnya tuntas
demi mengejawantahkan ajaran ajakan Ibu Farrah Dina. Ajaran ajakan yang mampu
menghapus kesedihanku. Ajaran ajakan yang menguatkanku. Ajaran ajakan untuk
jangan berhenti menulis. Ajaran ajakan untuk terus berkarya mengeluarkan semua
memori dalam benak lewat tulisan. Katanya, menulis adalah cara menggali
mengeluarkan segala yang terbenam dalam, dalam kepala. Menulis adalah cara merangkainyatakan
kenangan yang hilang. Ya, menulis adalah senjata siasat dalam
mencatattinggalkan jejak sejarah.
Yolis
Y. A. Djami (Tilong-Kupang, NTT)
Rabu, 13 Mei 2020 (14.55
wita)
Comments
Post a Comment