SAHUR TERAKHIR
Hari ini adalah
sahur terakhir. Sahur terakhir karena malam nanti adalah malam takbiran.
Artinya besok lebaran. Idul fitri. Hari kemenagan bagi segenap kaum muslimin di
seluruh belahan dunia ini. Selepas sahur tadi pagi semua orang telah menyiapkan
segala pernak pernik menyambut lebaran besok.
Bukan baru hari ini
aku mempersiapkannya. Aku telah menyicilnya sejak satu minggu terakhir
menjelang hari kemenangan ini. Jadi hari ini aku hanya mengecek untuk
memastikan apa yang masih kurang. Atau apa yang terlewatkan. Bila ada, aku
harus segera menggenapkannya.
Persiapan dari jauh
hari itu aku mulai dari yang besar-besar. Semisal merapikan rumah. Bagian rumah
yang dirapikan adalah mencat ulang tembok. Menata ulang interiornya. Yaitu
menata kembali sofa, buffet, meja, dan lainnya. Itu pun kalau mampu saja. Mampu
dalam hal keuangan tentunya. Tapi tahun ini Tuhan memberi rezeki lewat suamiku
sehingga aku mampu melakukan semuanya. Alhamdulillah!
Setelah persiapan
yang besar-besar baru aku beranjak menyiapkan lainnya. Tahun ini, sekali lagi,
karena suamiku dilimpahi berkah maka aku pun menyiapkan beberapa potong pakaian
baru untuk kami sekeluarga. Aku beli untuk suami, cucu, dan aku sendiri.
Anak-anak tidak kubelikan karena mereka sudah bersuami. Itu menjadi tanggung
jawab suami mereka masing-masing.Yang kubeli tidak mewah. Tapi yang pasti enak
pas saat dikenakan dan tidak memalukan manakala dilihat orang.
Sesudah pakaian
beres aku beralih ke kue dan jajanan-jajanan khas lebaran. Semacam kue-kue
kering beserta dengan tempatnya. Toples biasa aku menyebut tempat-tempat itu.
Entah benar atau tidak aku menyebutnya. Tapi maksudku, ya, itu wadah yang
terbuat dari kaca berdiameter 10 sampai 15 sentimeter dan memiliki tutup yang
apik juga berderat rapat.
Wadah atau
toples-toples itu kucuci bersih dan kukeringkan. Lalu aku masukkan kue-kue itu
menurut jenisnya. Juga dikelompokkan menurut warna dan rasa. Yang manis
sendiri. Yang gurih terpisah. Yang pedes di wadah tertentu. Begitu hingga semua
yang akan kuhidangkan bila ada tamu teralokasi dengan menawan. Semua berteduh
dengan nyaman dalam toples yang aman.
Termasuk jajanan
jenis kacang-kacangan aku tempati masing-masing. Kacang tanah yang disangrai.
Disangrai maksudnya digoreng tanpa minyak. Kacang tanah dengan balutan tepung.
Juga kacang mede. Rasa dari rupa-rupa kacang inipun beda-beda. Ada yang manis.
Gurih. Pedes. Aku siapkan beraneka begitu karena juga untuk menyenangkan
cucu-cucuku. Jadi bukan hanya untuk tetamu semata.
Aku juga selalu
menyediakan kolang-kaling dalam beberapa warna. Kolang kaling adalah
olahan buah enau atau aren. Buahnya gatal sekali sehingga harus telaten saat
memproduksinya. Maksudnya ketika mengolahnya. Sumber gatalnya ada di kulitnya. Aku
selalu sediakan karena aku pecinta sejati kolang-kaling. Aku membeli di pasar
sudah dalam keadaan terkupas. Tak berkulit lagi.
Kalau yang satu
ini, tidak bisa tidak, aku harus buat sendiri. Aku mengolahnya dengan tanganku
sendiri sesibuk apapun juga aku. Seperti yang kubilang tadi bahwa yang kuolah
adalah yang sudah berbentuk kolang kaling. Bukan yang masih berkulit. Tapi,
maaf, aku tak akan menceritakan proses membuatnya. Kalau pembaca ingin belajar,
monggo. Ke rumah, aku siap tularkan
ilmunya.
Kolang kaling yang
kuhidangkan tidak satu rupa. Ada beberapa warna yang mewakili rasa dan aroma.
Dari sekian kali aku bereksperimen aku dapati warna-warna favoritku dengan aromanya
masing-masing. Warna-warna yang kumaksud adalah: Merah dengan aroma dominan bunga
rose atau mawar. Putih yang beraroma vanilla. Kuning dengan rasa markisa. Hijau
yang beraroma daun pandan. Semuanya sudah dalam wadah yang tak kalah cantiknya.
Semua pernak-pernik
itu sudah kuwadahi tapi belum kupajang. Aku masih mengisolasinya di dalam
buffet. Lemari makanan. Supaya tidak diacak-acak cucu-cucu. Makhlum mereka
sedang aktif-aktifnya. Rencananya malam ini ketika mereka sudah terlelap baru
aku grapiakan mengatur menatanya di
meja di ruang tamu separoh. Dan yang lainnya di mejamakan bersama dengan
ketupat sayur dan santapan berat lainnya.
Rencananya pula aku
akan berbelanja bahan-bahan untuk memasak opor. Sayur temannya ketupat. Cuma
tahun ini aku tidak sempat membuat ketupat. Perhatian dan waktuku tersita oleh
cucu-cucuku. Jadi aku ganti dengan lontong saja. Toh, tidak jauh berbeda.
Walaupun agak kurang sempurna. Tapi no
problema. Aku juga menanak nasi sebagai antisipasi kalau-kalau lontong
habis. Atau ada yang lebih suka nasi.
Karena ini sudah
kulakoni sejak masih remaja jadi bukan sesuatu yang sulit lagi. Hanya tenaga
yang memang tidak bisa dibohongi. Makin tua, makin tipis tenaga. Untung
anak-anak juga sempat membantu mengeksekusi yang berat-berat. Kadang kalau
kelelahan aku hanya menginstruksikan supaya mereka yang menuntaskannya. Semua
aman terkendali.
Karena bagiku, itu
sudah terprogram otomatis sebagai seorang ibu rumahtangga asli. Aku hanya di
rumah melayani sebagai istri dan mama yang baik. Dan juga sudah menjadi budaya
untuk menyiapkan segala yang berhubungan dengan lebaran maka itu bukan lagi
sebuah perkara berat. Bukan suatu hal yang rumit. Semuanya mengalir lancar. Aku
dan anak-anak senang-senang saja dalam menyiapkannya.
Itu bukan berarti
aku meremehkan. Sebab aku bukan tipe perempuan macam itu. Tipe yang suka
meremehkan sesuatu. Tapi aku juga bukan tipe yang menyulit-sulitkan sesuatu
yang sederhana. Tepatnya aku realistis. Melakukan sesuatu seperti yang harus
kukerjakan. Mengerjakan dengan kemampuan yang kupunyai juga tentunya. Aku tak
mau dan tak suka yang heboh. Yang lebai aku tak nyaman. Dan tak mau.
Normal saja.
Oleh karena itu,
sejak malam aku sudah berdiskusi dengan suamiku tercinta. Aku bilang padanya:
“Pa, sehabis sahur terakhir subuh nanti aku tinggal ke pasar, ya. Papa tunggu
di rumah. Sambil baring menemani Ino dan Oni. Paling juga aku udah balik mereka belum pada bangun.
Papa tidur-tiduran aja nggak usah
beres-beres.” Begitu pesanku. Dan dia merespon dengan manis tanpa aksara.
Kami semua
beristirahat dengan sukacita. Sukacita karena subuh nanti adalah sahur
terakhir. Sukacita karena besok adalah hari kemenangan besar. Hari lebaran.
Idul fitri. Sukacita karena respon suami yang lembut dan menyentuh walau tanpa
kata. Tanpa aksara. Hanya dengan sedikit tanda yang biasa dan selalu
dilakukannya padaku. Kami semua terlelap hening bahagia.
Seperti biasanya
aku adalah orang pertama yang lebih dahulu meninggalkan tempat tidur. Aku
menuju dapur untuk mempersiapkan sahur terakhir kami. Tidak wah. Sederhana
saja. Nasi. Sayur. Ikan goreng. Kerupuk. Semua komponen hidangan itu adalah yang
tidak terselesaikan semalam. Jadi aku tak repot. Hanya memanaskan yang perlu.
Ditambah teh manis panas bagi semua anggota keluarga. Beres!
Setelah terhidang
di mejamakan aku bangunkan satu-satu untuk menikmati sahur terakhir di bulan
ramadhan ini. Kami semua duduk mengelilingi menjamakan sederhana itu. Suami
duduk di kepala meja. Aku di sebelah kirinya. Lalu di sebelah kiriku Rachma,
putri sulungku yang didampingi suami di sisi kirinya. Di depanku Fitri, putri
bungsuku dan suami di sebelah kanannya.
Setelah doa makan
yang kami panjatkan dengan khusyuk kepada Allah Sang Mahapencipta yang dipimpin
suamiku, kami pun menyantap sahur terakhir ini dengan nikmat penuh sukacita.
Hanya kami yang orangtua yang sahur. Ino dan Oni, cucu-cucuku masih terlelap
dalam alam senyap di awang-awang. Makhlum Ino masih berumur dua setengah tahun
dan Oni baru satu tahun. Ino putra pertama dari putri pertamaku. Dan Oni adalah
putra sulung dari putri bungsuku.
Sesudah menikmati
sahur terakhir ini aku kembali sibuk dengan mengecek semua persiapan terakhir
menjelang idul fitri siang nanti. Anak-anak, menantu dan suami kembali ke
tempat tidur masing-masing. Aku akan menyusul tapi masih merapikan yang tersisa
sehabis sahur dan memasukkan jajanan-jajanan yang belum terwadahkan. Setelah
itu baru aku baring-baring sedikit menanti mentari merekah baru ke pasar.
Karenanya aku tidak
ke kamar tidur. Takut kebablasan. Aku berbaring di sofa saja. Namanya juga
berbaring atau baring-baring berarti tidak lelap. Pikiranku malah mendahuluiku
ke pasar. Pikiranku sudah menjelajahi lapak-lapak di dalam pasar untuk
mengetahui posisi di mana aku harus membeli apa. Ia sudah menyusuri lorong dan
gang dalam pasar tradisional atau pasar basah tempatku biasa berbelanja bahan
makanan.
Aku tidak tenang
berbaring. Aku bangkit menyiapkan keranjang belanja yang selalu menemaniku ke
pasar. Aku juga menyiapkan kantong-kantong pelastik atau biasa kusebut kantong kresek sebagai wadah untuk bahan makanan
yang mengandung air. Kantong-kantong pelastik itu kusatukan dan masukkan ke
dalam keranjang. Aku pun terbiasa membawa uang seperlunya sesuai dengan apa
yang kucari. Maka uang yang akan kubawa sudah kutaruh dalam dompet kecil ala
emak-emak.
Sesuai kesepakatan
tadi malam suami tidak ikut. Aku pake ojek saja kalau ada. Kalau tidak aku
jalan kaki saja karena jarak rumah dan pasar hanya beberapa ratus meter. Tidak
sampai sekilo. Aku jalan selain hemat biaya juga untuk imun tubuh yang bagus
sebagai penangkal covid. Jadi soal berangkat ke pasar dan pulang kembali rumah
bukan perkara besar bagiku.
Semua yang bakal
kubawa ke pasar sudah siap. Aku tinggal buka pintu rumah, pintu pagar dan
melenggang ke pasar. Tapi sebagai istri yang bersopan santun, aku ke kamar dan
pamit. Sekaligus mengingatkan kembali untuk melihat cucu-cucu kalau mereka
sudah bangun dan kebetulan aku belum pulang. Sebelum ke kamar untuk pamit aku
mampir kamar mandi dulu memastikan bahwa semua dalam keadaan aman. Sekalian aku
mau melepastinggalkan pemberat tubuh yang tidak perlu kubawa.
Ketika di pintu
kamar aku melihat suamiku sedang setengah tengkurap membelakangi pintu di mana
aku berdiri sekarang. Kelihatannya ia sedang menikmati tidur dalam lelapnya.
Ada ragu dalam dada untuk menyapanya pamit. Tapi aku tak punya pilihan. Maka aku
dekati dan menyentuh tepuk lengan atasnya dengan sisi jari bagian dalam yang sudah
kurapatkan. Lembut kutepuk sambil memanggilnya dengan mesra. “Pa… Pa… Pa.” Wow, terlelap sekali. Pikirku. Kuulangi
beberapa kali. Tetap bergeming semi menelungkup membelakangiku.
Akhirnya aku tidak
menepuknya lagi. Aku memegang lengan atas kirinya yang berada di atas dengan tangan
kiriku dan menarik badannya pelan agar terlentang. Dan betapa kagetnya aku. Ada
muntahan di kasur di posisi mulutnya berada saat dia dalam keadaan semi
telungkup. Aku menepuk makin kencang dan memanggil. Aku menggigil dan menjerit.
Dia tetap tak merespon. Bergeming. Diam saja terus dan selamanya.
Cerpen ini kudedikasikan untuk mengenang almarhum Mas Sutikno Taryono (Kakak iparku).
Yolis
Y. A. Djami (Tilong-Kupang, NTT)
Sabtu, 23 Mei 2020 (15.15 wita)
Sip.
ReplyDeleteTerima kasih, Bu Yani. ẞudah mampir n tinggalkan jejak!
Delete