RINDU
Dua hari ini aku
kehilangan greget untuk menulis. Yaitu menulis mengikuti selera naluriku
berekspresi. Menulis apa yang ada di dalam kepala dan hatiku. Menulisgambarkan
segala rasa, data dan fakta yang mendakwa jiwa. Aku betul-betul hanya berkutat dengan
resume kuliah online yang menjalin
berpilin bertumpuk. Aku masih tetap menulis memang. Tapi menulis karena
disuruh, bukan karena rindu. Aku rindu menulis karena rindu menulis. Bukan
menulis karena disuruh menulis tentang menulis. Karenanya, hari ini aku telah
bertekad berkeputusan untuk melepas rinduku menulis dalam kerinduan.
Menulis dalam
kerinduan memberi kekuatan mengalirkeluarkan kata-kata nyata yang mengalir.
Kata-kata menjadi nyata tertata karena rindu menyatakannya. Kata-kata yang
dinyatakan tertata nyata menjadi kalimat yang nikmat bagi penikmat berhikmat.
Kalimat-kalimat nikmat yang penuh hikmat akan bermuara pada paragraf padat
sarat makna. Paragraf penuh makna akan berujung menjadi bacaan berkualitas. Dan
bacaan berkualitas pada akhirnya akan membentuk pola pikir cerdas bagi pembaca
yang rindu menjadi pribadi bernas.
Pribadi bernas tidak
terbangun jadi dalam waktu sekilas. Pribadi bernas terbentuk semenjak dan
sepanjang ia hidup dalam kehidupan yang dihidupinya. Pribadi bernas pun terbangun
terbentuk dalam sebuah kehidupan yang penuh kerinduan. Rindu terus belajar dan
belajar terus. Rindu terus berlatih walau sering tertatih karena letih. Rindu
berbagi dari yang dimiliki dengan yang lain tanpa merasa merugi.
Rindu memang berat,
kata temanku. Rindu saja sudah berat. Apalagi rindu berat, sungguh menjerat.
Rindu berat yang menjerat karena corona merebak mewabah. Covid sembilan belas
jelas wabah bedebah yang tak lelah membuat orang resah. Bahkan resah yang
parah. Resah orang-orang kian parah mengarah pasrah berputus asa karena kondisi
yang tak berprediksi hingga terbersit bisik lirih di hati: Sampai kapan begini?
Entahlah!
Situasi ini membuat
orang-orang bermenung dalam nostalgia yang tak bahagia. Betapa tidak! Biasanya bisa
berkumpul bersama atau saling kunjung yang tak kunjung berujung, kini berubah
menahan diri sendiri-sendiri biar tidak bersua berdua, bertiga, bersama-sama.
Biasanya bisa secara spontan bebas menyatakan rindu dengan berjabat berpeluk
kalau bertemu, kini hanya menatap berjarak seperti asing. Masing-masing
terpaksa bersikap asing demi istilah asing: social
and physical distancing yang bikin pusing tujuh keliling. Biasanya ke
mana-mana selalu menampakkan wajah cantik atau ganteng, kini harus dikerangkeng
dengan masker. Masker yang dulunya hanya sepeser kini harganya bikin geger. Sungguh,
aku rindu seperti dulu!
Biarlah! Paling tidak
sudah sedikit terobati rinduku setelah menulis ini dan mempersembahkannya ke
hadapan Anda. Aku mempersembahkannya dengan sukacita tulus khusus kepada Anda,
pembaca setia yang telah meluangkan waktu menikmatinya. Terima kasih karena
Anda telah melupakan sejenak rasa resah akibat wabah dan membaca tulisanku ini.
Tulisan yang terlahir dari sebuah rindu. Doaku, semoga Anda pun membacanya
dalam rindu. Rinduku rindumu bertemu di dunia semu, dunia maya. Dunia tulis-menulis, dunia membaca.
Yolis
Y. A. Djami (Tilong-Kupang, NTT)
Kamis, 7
Mei 2020 (11.28 wita)
Puitis banget bapak, hahaa. Menulis sja bapak,. terus menulis
ReplyDeleteThanks a lot for you support! Gb.
Delete