MEWAH
Aku mendapat rejeki nomplok. Luar
biasa sukacitaku. Karena ada nasi putih. Ada opor ayam, ayam goreng, nugget,
rempeyek dan gado-gado. Ini makanan mewah bagiku sebagai anak kos. Biasanya
hanya mie instan. Atau paling top. Mie instan pake telor. Tapi hari
inibenar-benar di luar angan-angan. Mimpi apa aku semalam kok bisa kebanjiran
makanan begini. Ya, sudah takdirnya barangkali.
Sungguh mewah. Selama
berstatus sebagai anak kos, baru kali ini aku dapat menikmati hidangan seperti
ini. Nasi putih pulen dan wangi pandan yang khas. Baru melihat warna nasi dan
wanginya yang tercium saja sudah membuat aku kehilangan kesabaran ingin
melahapnya. Ada opor ayam warna kuning dengan kuah santan pekatnya ikut
ngomporin air liur mengalir. Lalu ayam goreng bumbu, nugget ayam, rempeyek
kacang, dan sebagai penyeimbang dan penyedia serat ada gado-gado. Sungguh aku
sedang berada dalam kelimpahan.
Makanan-makanan ini
ternyata berasal dari tetangga. Aku punya tetangga yang sangat baik hati.
Mereka sedang hajatan merayakan hari ulang tahun anak bungsunya jadi aku
kebagian nikmatnya. Hajatannya kali ini tidak mengundang banyak orang. Hanya
saudara bersaudara dan kenalan dekat saja. Itu pun jumlahnya tidak lebih dari
lima belas orang. Makhlumlah masih dalam masa lockdown akibat corona si nona pongah itu.
Aku menerima
makanan-makanan itu dan kutata, eh.. bukan tata, tapi letakkan di lantai.
Lantai ruangan satu-satunya yang multifungsi sebagai ruang tamu, ruang tidur,
dapur sekaligus gudang. Begitulah anak kos dengan segala kekayaannya. Jadi
makanan dengan tempatnya kuambil dan letakkan di lantai. Nanti setelah
kuselesai makan baru kukembalikan setelah kucuci bersih. Kebetulan anak
perempuan yang punya hajatan yang mengantar. Anak perempuan cantik satu-satunya
yang adalah mahasiswi sebuah perguruan tinggi di Kupang. Dia datang dengan
setelan cerah yang pas badan membuat aku kehilangan fokus.
“Terima kasih, Kaka Nona. Nanti baru be kasi kambali – Terima kasih Mba.
Sebentar baru saya kembalikan.” Kataku berjanji dengan dialek Kupang.
“Ia, Kaka Nyong. Be bale do – Ia, Mas. Saya pamit dulu.” Balasnya juga dalam dialek
Kupang membelakangi dan meninggalkanku. Dia meninggalkanku dalam kegirangan ganda.
Dapat makanan berlimpah dan bertatapan dengan bidadari.
Setelah aku
sendirian, aku menata makanan-makanan itu dengan rapi supaya semakin menambah
selera nanti saat berbuka. Aku menatanya dalam lingkaran menurut arah jarum
jam. Nasi dalam piring melamin hijau kutaruh di depan kiriku. Nugget dalam
piring keramik putih, opor ayam dalam mangkok keramik putih beralaskan piring
kaca bening, ayam goreng dalam piring melamin hijau, rempeyek kacang dalam
piring keramik putih dan di tengah-tengahnya kuletakkan gado-gado yang ada
dalam piring melamin hijau. Aku sengaja tata begitu biar eye catching, kata orang-orang kota.
Sementara
kususunrapikan secara berseni supaya menambah nafsu lahapku saat buka nanti,
aku curi-curi pandang ke jam beker. Siapa tahu sudah jam buka. Tapi sembari
begitu aku agak jahil karena terpaksa menghirup aroma hidangan yang ada pas di
depan hidungku. Sambil sesekali menghirup udara, tak sengaja aroma makanan ikut
sertak masuk lorong penciuman. Mataku pun merem
melek ke arah beker berharap sudah waktu berbuka.
“Ah. Pas jam.”
Desahku. Kubangun ambil air berkumur dan membatalkan puasa lalu duduk kembali
menatap hidangan mewah istimewa ini. Kuambil ayam, masukkan mulut, menggigit
sambil tanganku menariknya. Dan: “Praak.” Adow, teriakku sembari meremas tanganku
yang sakit menghantam sisi tempat tidur. Astaga, cuma mimpi!
Yolis
Y. A. Djami (Tilong-Kupang, NTT)
Minggu,
3 Mei 2020 (21.25 wita)

Ada sisipan Bahasa Melayu Kupang; Bae, beta suka
ReplyDeleteMakasi ko'ko'u!
ReplyDelete