KEBELET
Perkenalkan namaku Shanty.
Sushanty Blavadzkha Orthy, lengkapnya. Aku punya saudara kembar yang bernama
Santo. Nama lengkapnya, Susanto Blavadzkho Orthy. Kami masih duduk di sekolah
menengah atas kelas sebelas. Hari ini aku mau menceritakan bagaimana kebiasaan
Santo bila kebelet. Aku merasa teman-teman penasaran dengan namaku. Dan
kayaknya kepengen tahu asalku bukan? Baiklah nanti kalau ada kesempatan akan
kuceritakan. Biar hari ini kuselesaikan dahulu cerita ini.
Maaf, aku bercerita
tentang kakak tidak bermaksud menjelek-jelekkannya. Aku hanya merasa ada yang
unik dalam kebiasaannya itu. Tak mungkin aku berbuat senaif itu karena
bagaimanapun dia kakakku. Kami memang kembar, tapi dia selalu kupanggil kakak.
Itu yang diajarkan Papa Mama sejak kami masih kecil. Ya, aku mau ceritakan
karena menurutku ada hal baik dari kebiasaan jeleknya itu.
Tapi sebelum aku
membeberkan tabiat saudara kembarku ini, perkenankan kuulas sedikit hal-hal
yang berhubungan dengan kebelet. Ini sebenarnya adalah karya tulisku yang
kubuat untuk memenuhi tugas daring dari sekolah. Karya tulis yang kuubah
menjadi cerpen. Semoga pembaca tidak tersendat melahapnya. Sebaliknya, dengan
sukacita menikmatinya hingga tuntas.
Begini!
Kebiasaan kakakku
ini tak pernah dibuangnya. Kebiasaan yang merusak suasana. Kebiasaan yang
membuat heboh orang sekitarnya. Kebiasaan yang menyebabkan orang lain
kehilangan mood. Kebiasaan yang
mengakibatkan orang-orang mengeluarkan omongan tak senonoh. Kebiasaan yang
mencelakai dan merusak tatanan orang banyak. Kebiasaan yang harusnya bisa
dibuang, malah langgeng dipelihara.
Kebiasaan adalah
perbuatan atau tindakan yang dilakukan secara berulang-ulang dengan sadar dan
bertanggung jawab. Kebiasaan yang terus-menerus diulang-ulang akan menjadi
karakter. Jika karakter itu tetap dipertahankan maka akan menjadi sebuah gaya
hidup. Kalau sesuatu itu sudah menjadi gaya hidup berarti dia telah melekat
abadi dalam kepribadian orang yang memilikinya.
Kebiasaan itu ada
dua saja. Positif atau negatif. Positif artinya dapat diterima oleh orang
banyak. Malah menjadi barometer kehidupan masyarakat tertentu. Sedangkan
negatif berarti tidak dapat diterima oleh khalayak yang luas. Maka positif dan
negatif yang dimaksud adalah yang sesuai dengan standar umum. Bukan berlandas
pada standar atau penilaian keputusan pribadi atau sekelompok orang.
Salah satu
kebiasaan yang mungkin tidak berterima adalah kebelet. Dalam KBBI versi daring
memberi makna pada kata kebelet dengan: “Ingin sekali; tidak tertahankan lagi
untuk melaksanakan keinginan.” Sederhananya kebelet itu sesuatu yang segera
harus diwujudnyatakan. Diejawantahkan. Sesuatu yang tak bisa ditahan-tahan
lebih lama lagi. Bila kebelet semakin ditahan akan berisiko.
Berisiko
seperti contoh-contoh ini. Pertama, Moammar Emka berkata: “Kangen itu mirip
kebelet buang air besar. Makin ditahan, makin blingsatan.” Dia mau mengatakan bahwa kangen itu jangan ditahan.
Langsung nyatakan saja. Yang kedua: “Cinta itu bagaikan kentut bila ditahan
sakit perut, kalau dilepas jadi ribut!” Kedua contoh ini memiliki substansi
yang sama yaitu jangan ditahan. Tapi juga jangan sembarangan dinyatakan. Jangan
asal dilepas. Berisiko. Berbahaya.
Memang sesuatu yang
ditahan-tahan akan membuat blingsatan
atau ribut. Blingsatan itu keadaan
seseorang yang tidak bisa diam. Selalu bergerak demi meredam sesuatu yang
sedang dirasakan. Blingsatan itu
seperti situasi seekor cacing yang sedang berada di atas permukaan aspal yang
panas. Dia akan terus bergerak berpindah agar bisa selamat dari jerat panas
yang ganas itu. Kira-kira begitulah blingsatan
itu.
Nah, pembaca yang
budimana! Seperti yang kubilang di atas bahwa kakaku ini suka sekali
menahan-nahan buang air besar. Entah kenapa? Dia sangat menikmati permainannya
dalam situasi blingsatan seperti itu.
Dia tidak akan bisa diam. Selalu bergerak ke sana ke mari. Geser kiri geser
kanan. Maju mundur tak karuan. Kita yang melihatnya bisa lucu. Bisa juga kesal.
Tapi dia, sebaliknya. Enjoy. Sangat menikmati.
Kalau misalnya dia
dalam posisi duduk bersila di lantai maka dia akan menggerakkan badannya
memutar seolah bergetar. Atau menunduk ke depan seperti mau mencium lutut
sambil mengoyangkan kedua paha membentur lantai. Benturan paha di lantai ini
akan menghasilkan bunyi melodi tersendiri. Dan hanya dia yang tahu not dan
nadanya.
Atau dia akan
mencondongkan badannya ke kiri dan ke kanan sambil mendorong mengangkat
pantatnya dengan menopangkan kedua tangan di lantai. Gerakan-gerakan itu dia
lakukan biar ada sela, cela atau ruang antara lantai dan pantatnya sehingga
bila ada angin yang keluar tak menyebabkan bunyi yang mengagetkan. Hanya udara
di sekitar yang terkontaminasi berpolusi.
Bila dalam keadaan
berdiri maka dia akan menyilangkan kakinya supaya lorong pelepasannya bisa
terkunci rapat. Dia akan mengunci rapat agar tak ada ekses. Selain itu,
badannya seperti bergetar mengikuti irama dengan ketukan tertentu yang tidak ajeg. Kadang lambat, sedang, cepat atau
cepat sekali tergantung situasi yang dirasa. Tangannya juga ikut repot. Kadang
berkacak pinggang. Kadang memegang menopang tembok, kusen pintu, lemari, kursi
atau apa saja yang ada di sekelilingnya yang dekat dengan dirinya.
Kalau akan berjalan
berpindah tempat maka dia hanya mampu menarik menggeser kakinya. Tak sanggup
dan tak berani dia mengangkat kaki untuk melangkah. Takut pertahanannya bocor.
Lalu kedua tangannya akan membantu meremas bokongnya agar, lagi-lagi, pintu
belakangnya tertutup rapat yang dipaksa tergembok dari luar. Aku sering
terpingkal melihatnya begitu. Karena pikirku sengsara amat. Coba dia langsung
ke toilet maka persoalannya selesai.
Nanti kalau sudah
pembukaan tujuh baru dia ngibrit.
Yang tak jarang dia ngecrit di
celana. Dia akan terburu-buru kabur dengan meninggalkan jejak aroma tak sedap
menyebalkan di setiap tempat yang dilewatinya hingga di dalam ruangan di mana
seharusnya dia ada. Dengan demikian semua orang akan refleks menutup hidung
biar tidak terserang gas yang membunuh selera dan kebebasan bernapas itu.
Suatu ketika begitu
dia menghilang dari ruang tempat kami sedang berkumpul beramai-ramai dan
meninggalkan jejak tak sedap, Mama menghardik.
“San!”
“Iya. Tunggu. Lagi kebelet.”
Balasnya dari balik pintu wese dengan suara tak leluasa yang tertekan di antara
ngeden.
“Kebiasaan jelek
dipiara. Kalau kebelet jangan bikin susah orang baru ke wese.” Mama tersulut.
Dia kembali dengan
perasaan lega setelah keluar dari wese. Mama belum lega. Mama masih panjang
ngomongnya tentang kebiasaan kakak yang jelek soal kebelet. Ya, seperti
mama-mama pada umumnya kalau ada yang tidak pas dan harus dibenarin. Setelah
Mama berhenti bicara. Kak Santo yang gantian bicara.
“Yailah. Kebelet gitu doang dibahas panjang lebar. Ya udah. Maafin, Ma. Tapi coba tu
liat di luar sono. Banyak orang
kebelet yang merusak orang banyak dibiarin
aja.”
“Maksudnya? Kan
mereka bukan anak Mama!”
“Gini, Mama sayang! Tiap hari kita lihat
di tivi. Baca banyak berita. Di media cetak. Media daring. Bagaimana gaya tu orang-orang yang pada kebelet. Nih, San bilangin. Yang kebelet kawin, bikin masalah dengan anak perawan
orang. Hamili duluan biar kawin. Yang kebelet terkenal bikin sensasi yang
kagak-kagak biar populer. Yang kebelet kaya, korupsi, nyuri uang rakyat gak
kira-kira. Yang kebelet punya gelar, gak
pake kuliah hanya minta-minta nilai atau beli ijazah sekalian. Ijazahnya
sampai es dua es tiga tapi gak bisa
apa-apa. Ngomong aja kek orang gagu.
Apalagi disuruh nulis, dunia runtuh. Yang kebelet berkuasa, cari muka dan
nyogok kalau perlu biar jadi bos padahal kemampuan nol. Kagak punya konsep. Gak
mampu memimpin.”
Setelah dia ngomong
segitu banyak, dia datang ke Mama cium tangan dan sekali lagi minta maaf lalu
pergi. Mama juga diam saja. Tidak berkomentar apa-apa soal semua yang kakak
bilang tadi tentang kebelet orang-orang di luaran sana. Aku pun hanya menelaah
dalam batin tanpa bunyi. Tanpa suara. Kubiarkan semua yang kudengar itu meresap
di dinding penalaranku. Dan menetap di bilik logikaku.
Di dalam diam
kucoba menelusur menyusur jalan pikiran kakak. Aku pejamkan mata sambil
bersandar. Di satu sisi, aku kurang suka dengan sikap kebeletnya. Tapi di sisi
lain, aku bangga pada ketelitian pengamatannya meneropong orang-orang yang
diliputi rasa kebelet dan tak mampu menguasainya.
Biar sudahlah. Aku
juga tak tahu mau ngomong apa lagi. Jadi sebaiknya aku juga pamit. Nanti
kapan-kapan kalau aku dapat bahan argumentasi yang baik dan berbobot akan aku
sampaikan ke teman-teman semua yang telah mengikuti ceritaku ini dari awal.
Untuk itu, aku berterima kasih yang sedalam-dalamnya dan sebesar-besarnya. Aku
juga sekalian mau mengucapkan selamat lebaran bagi teman-teman sekalian yang
merayakannya. Semoga kita bisa bertemu lagi di idul fitri, hari yang fitri
tahun depan!
Cerpen ini kudedikasikan untuk mengenang almarhum Santoso Taryono
(Adik iparku)!
Yolis
Y. A. Djami (Tilong-Kupang, NTT)
Minggu, 24 Mei 2020 (15.25
wita)
Comments
Post a Comment