ASAL TULIS

Aku ingin menulis tentang lahirnya Pancasila tapi macet. Entah kenapa? Mungkin karena pengetahuanku yang kerdil tentang Pancasila. Itu sebabnya dari pagi buta aku sudah mencobanya. Tapi gagal.

Awalnya aku ingin mengulik sedikit kehidupan Sukarno di Ende. Karena sedikit yang kutahu Pancasila terilham di sana. Tapi aku tak mampu mendeskripsinya sehingga tidak jadi tulisannya.

Tapi aku ingin menulis tentang hari bersejarah ini. Lalu aku mencoba merangkai kata dalam bentuk puisi. Puisi tentang bagaimana terciptanya Pancasila itu. Bagaimana eksistensinya di bumi Indonesia. Untuk apa dia ada di persada ini dan seterusnya.

Lagi-lagi aku gagal. Masih ada coretan-coretannya. Semua masih berhamburan. Aku biarkan saja mereka begitu. Tak kubuang. Tak juga kuteruskan. Aku reses. Berhenti. Aku mundur dari tulisan-tulisan itu. Suatu saat akan kukunjungi dan bersilaturahmi kembali. Semoga mereka tidak kepahitan padaku.

Karena aku gagal menulis yang geulis, aku tulis sembarang saja. Yang penting harus aku tulis. Jadinya kusampaikan tentang rasa gagalku hari ini merangkai kata tentang Pancasila.

Harusnya aku menulis tentang hari lahir Pancasila. Cuma karena tidak berhasil, aku menulis tentang hari lahir menulis sembarang. Hari jadi menulis asal. Ya, ini dia yang sedang kutulis. Entah akan jadi seperti apa dia.

Aku tak ambil pusing dia mau jadi kayak apa. Aku terus saja menulis. Menulis dengan urutan pikiran yang tak berurut. Menulis tentang ketidakkompakan antara nalar dan rasa.

Nalarku mau menulis tentang hari lahir Pancasila. Rasaku tak berani menerima tantangan itu. Rasaku kehilangan rasa mengungkap rasa dalam menulis. Entah apa yang dirasa? Semua rasa tak berasa gara-gara rasa yang tak merasa apa-apa. Tak punya rasa.

Nalarku bergairah menakar-nakar hasil tulisan yang bakal hadir. Tulisan tentang lahirnya dasar Negara yang berakar dari budaya bangsa. Tapi nalarku buyar ditinggal rasa yang hambar. Aku terkapar. Untung masih sadar.

Di kala nalarku terkapar karena rasa menghindar, aku terus berikhtiar untuk tetap sadar. Semoga dengan kesadaran yang tak utuh karena nalar dan rasa berkilah berpisah, aku masih dapat berkisah. Berkisah tentang Pancasila.

Kenapa Pancasila? Karena hari ini hari lahirnya. Jadi pasti keren kalau tulis tentangnya. Itu sebabnya, dari pagi aku sudah berniat untuk menulis itu. Tapi entah kenapa rasaku menolak. Bukan hanya menolak. Iapun memberontak.

Susah sekali menulis tanpa rasa. Lebih beradab rasa yang jelek daripada tanpa rasa. Bila rasa jelek bisa diperbaiki menjadi lumayan atau bagus sekalian. Tapi kalau tidak ada rasa apa yang mau dirapikan? Bisakah merapikan rasa tanpa rasa?

Kalau masakan hambar tak ada rasa bisa diberi rasa dengan racikan bumbu. Tapi kalau rasa yang tak berasa coba Anda rasa. Aku rasa Anda pun akan kehilangan rasa.

Mungkin ada rasa kurang percaya Anda bahwa aku tak ada rasa menyusun kata tanpa rasa. Baiklah! Nanti akan kutunjukkan. Aku akan mempersilakan Anda membaca. Sesudah itu aku yakin Anda akan memiliki rasa yang sama denganku. Ini dia!  

Sebuah kelahiran berawal dari sebuah proses yang panjang. Dari proses pembuahan. Merawat dan memeliharanya hingga berwujud. Kelahiran itu ada melalui sebuah usaha perjuangan. Pancasila juga lahir dari sebuah permenungan yang dalam. Permenungan dari seseorang yang terbuang.
Itu dia contoh soal nomor satu. Seandainya Anda masih penasaran. Aku akan kasih lagi contoh soal nomor dua. Nomor tiga dan seterusnya. Sampai Anda percaya bahwa rasa itu penting dalam menulis supaya nikmat. Jadi bukan hanya sayur yang perlu rasa.
Tulis juga perlu rasa. Ini satu lagi tulisanku yang rasanya tidak ada rasa dalam mengungkapkannya. Sudilah tuan-tuan dan puan-puan membacanya.

Tanggal 1 Juni adalah hari lahir Pancasila. Pancasila lahir dari permenungan yang dalam. Permenungan dalam pembuangan. Ia digali di bumi Indonesia. Ia menjadi dasar berperikehidupan bangsa. Ia menjadi dasar Negara.
Sampai kalimat terakhir berakhir juga aku mengukir kata selanjutnya. Gagal masal menata rasa sendiri. Aku membaca tulisanku sendiri aku gerah. Aku seperti di padang gurun. 
Padahal aku belum pernah ke padang gurun. Tapi bisa memberi analogi panasnya padang gurun. Okelah. Mungkin itu seni menghidang rasa dalam menulis. Entahlah! Semoga besok-besok atau besoknya lagi ada yang menerangkannya lebih jelas.
Aku sertakan lagi puisi yang tadi pagi kutulis. Puisi berisi kelahiran Pancasila. Jujur kubilang bahwa saat menulisnya aku seperti mati rasa. Nanti kalau-kalau pembaca mau membacanya coba baca dengan rasa. Tapi jangan dengan rasa marah apalagi benci.
Begini puisinya!

Saat dibuang ke tempat terpencil
Dia tak berubah menjadi kerdil
Dia terus berpikir berbuat andil
Agar Indonesia berdiri dengan adil

Dalam pembuangan nan sepi
Dia menggeliat dalam sunyi
Berkarya mencipta tanpa bunyi
Pancasila lahir melandasi negeri

Pancasila menjadi dasar Negara
Tempat bertaut cara berbangsa
Melindungi harkat manusia Indonesia
Menatap masa depan yang berjaya
Aku serahkan pada pembaca untuk memberinya judul. Mungkin ada yang mau meneruskannya, silakan. Sebab aku tak merasa sanggup melanjutkannya.
Untuk itu, biarlah aku pamit saja supaya Anda bisa konsentrasi. Berkonsentrasi salurkan energi dan isi hati menyelesaikan puisi itu. Dan juga melengkapi tulisanku tentang Pancasila. Pancasila yang satu-satunya milik Indonesia. Pancasila yang tiada duanya di dunia. Selamat hari lahir Pancasila!

Yolis Y. A. Djami (Tilong-Kupang, NTT)
Senin, 1 Juni 2020 (10.10 wita)

Comments

  1. Mantul Bu 👍🏻 diksinya bagus-bagus. Sukaa 😍

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih atas pujian yang menyebarkan hati saya, bu Ditta. Tapi maaf sekali Saya bapak, buka ibu. Hahaha.

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

POIRHAQIE de KRISSIEN

BELAJAR = PEMAKSAAN PEMBIASAAN DIRI

TIDAK PAKE JUDUL