TEORI versus PRAKTIK


Tadi malam aku bertemu dan berbincang-bincang ringan dengan beberapa teman lama. Kami bertemu secara tidak sengaja di warung makan yang ternyata adalah milik teman kami juga. Setelah makan, kami mengahabiskan waktu sekitar hampir dua jam atau mungkin lebih. Kami bincangkan banyak hal secara acak tak tertata. Maksudnya bila salah satu melontarkan ide maka yang lainnya ikut menimpali urun pendapat. Ada yang pro ada yang juga yang kontra. Beda tipis dengan acara-acara diskusi atau debat di stasiun-stasiun televisi tanah air. Bedanya kami hanya di warung sederhana tanpa penonton, sedangkan mereka di layar kaca ditonton banyak orang. Kadang topik yang didiskusikan sampai pada kesimpulan. Tapi ada juga yang tidak sampai tuntas. Dia mengambang begitu saja. Intinya adalah kami sama-sama menikmati pertemuan dalam sukacita ketulusan.

Topiknya, seperti tadi kubilang, beragam. Topik yang berhubungan dengan organisasi keagamaan tempat kami berhimpun kami membahas teknis penyelenggaraan, kebijakan, dan sebagainya. Tapi aku harus tegas bilang bahwa kami bukan bergosip. Karena aku bukan tipe pegosip, jadi sama sekali tidak berselera untuk itu. Seandainya gosip, aku biasanya akan meminta untuk bahas yang lain. Atau kalau mereka berkeras, maka akulah yang pamit mundur. Jadi tidak bergosip ria. Apalagi percakapkan yang negatif. Tidak. Kami hanya sedang menyalurkan energi berpikir antarsesama orang sisa-sisa. Apalagi covid mengurung sekian lama, ini kesempatan saling melepas rindu. Rindu berkongko-kongko dan rindu berbagi cerita, juga rindu berbagi ilmu.

Coronarius dan dampaknya juga menjadi bahan bincang. Tapi bukan tentang teknis melenyapkannya. Semua seolah kompak menyatakan keluhan dalam bertanya: “Kapan covid ngibrit, biar kita bisa bebas lepas seperti sedia kala?” Dan semua pun seolah memberikan jawaban yang sama dalam nada harap yang nisbi, tak pasti: “Mungkin besok, Minggu depan atau sebulan lagi. Dan banyak mungkin lainnya. Entah! Dia seperti tak berujung.” Karena mengenai covid 19 tak bersambut balas yang enak, tidak menarik, maka kami pun beralih ke topik lainnya. Sebab corona dibahas seperti apapun, situasinya tetap tidak berubah. Jadi kami tutup pembicaraan mengenai covid dan kroni-kroninya. Kami beralih ke lain hal.

Kali ini tentang hobi atau aktivitas keseharian. Apa yang diminati. Apa yang dikerjakan dengan sukarela dan berlama-lama. Teman yang punya warung mengatakan setiap harinya di warung. Selain sebagai mata pencaharian, ini juga hobi yang tersalur dan menghasilkan karena dasarnya kedua suami istri ini senang masak. Dan memang masakannya enak sekali. Racikan bumbunya memberi efek ketagihan bagi yang pernah mencicipi. Aku tak bisa menguraikan rasa seperti para juru masak pro. Tapi aku harus bilang bahwa rasa masakannya tak kalah nikmat dengan yang ditawarkan di rumah makan sekelas restoran. Harganya pasti terjangkau. Tapi aku tak tahu pasti karena makananku dibayar oleh teman yang pebisnis. Dia melarangku bayar dengan berkata dalam nada canda, yang menurutku tak melukai martabat sahabat. Katanya: “Maaf, uang pak guru tidak laku di sini.” Lalu dia menyelesaikan transaksi dengan teman pemilik warung sesaat kami akan berpisah.  

Teman yang pebisnis mempunyai hobi menyanyi dan bermusik. Maka dia beberkan kesehariannya selama masa karantina terpaksa ini. Jabarnya: “Saya belajar dari media tentang bagaimana main gitar. Khususnya yang bergendre jazz. Dan belajar lagu-lagunya. Jazz maksud saya.” Wow, keren. Pikirku. Dan memang teori musik jazz yang didapatnya dari pembelajaran melalui media-media itu menakjubkan. Dia menerangkan banyak kepada kami tapi aku tidak terlalu paham. Dan kelihatannya begitu juga dengan teman pemilik warung. Aku memang bisa memetik gitar. Tapi hanya sekadar pelipur diri. Aku kurang memahami teori musik secara mendalam, apalagi jazz. Karenanya, kami, aku dan pemilik warung sama-sama bias kurang antusias dalam menanggapi. Kami – yang tak berpengetahuan ini – seperti sedang mengikuti kuliah umum dengan pakar musik internasional. Kami hanya mampu mendengarkan bengong dengan pikiran tong kosong.

Aku sendiri menceritakan keseharianku selama masa kepengurungan hanya dengan membaca dan menulis. Membaca dari perbendaharaan buku yang cuma seberapa yang kupunya. Dan menulis apa yang mendesak ingin dituangkan. Atau memaksabiarkan jari-jemariku menari-nari di atas tuts laptop walau tanpa ide. Nanti di saat kata demi kata kutulis baru ide bermunculan datang menghampiri menawarkan diri untuk diurai. Atau kalau mati langkah merangkai kata, aku berhenti beberapa jenak. Keluar dan menyiram tanaman sebagai penyeling sekaligus hiburan yang menyegarkan. Tanaman yang kusiram adalah: Cabe, tomat, dan beberapa pohon buah yang masih membutuhkan asupan air sebelum mereka mampu mencari air sendiri.

Karena penasaran tentang teori musik memusingkan itu, aku minta dia contohkan secara praktik sederhana ke dalam chord. Maksudnya biar aku bisa mendapat sedikit keterampilan dari pertemuan sederhana ini. Ia pun menunjukkannya. Yaitu menerjemahkan teori-teori tadi langsung dengan gitar yang kebetulan ada. Gitar milik anak teman pemilik warung yang biasa ia mainkan kala menemani Papa-Mamanya. Sayangnya, kemampuan teroretis yang dimiliki tidak berbanding lurus – atau tidak linear, kata para akademisi – dengan kemampuan praktisnya. Karenanya dia memberiku gitar itu untuk memainkan chord mengikuti petunjuk teoretis yang disampaikannya. Lumayan. Selama ini aku hanya mengikuti cara bermain orang lain apa adanya. Istilahku, bermain secara kampung tanpa teori. Sekarang aku dapat sesuatu. Aku bisa menerjemahkan teori yang jelimet ke dalam nada-nada praktis berkat kesabaran dan tuntunan temanku yang fasih teori. Kami pun melantunkan beberapa lagu penenang jiwa sebelum berpisah.

Dari pengalaman ini aku bermonolog sepanjang jalan pulang. Kubiarkan nalar dan naluriku bertanya jawab.

Kata nalarku: “Jadi mana lebih baik, teori atau praktik? Mana yang seharusnya lebih dahulu dikuasai antara teori dan praktik?”

Lalu naluriku menjawab: “Bukan mana lebih baik atau mana yang lebih dahulu. Tapi harus saling mengisi, saling menopang!” Dengan tidak sabaran nalarku merespon.

“Maksudnya?”

“Ya. Kalau misalnya teori lebih dahulu dikuasai, maka harus dibarengi dengan latihan keras untuk mewujudnyatakannya dalam bentuk praktik praktis. Atau kalau lebih dahulu bisa mempraktikkan, maka harus berusaha memahami teorinya agar tidak ngawur. Sebab teori dihasilkan dari pengamatan cermat atas tindakan-tindakan praktik lalu diuraibahasakan. Kemudian diujicobakan kembali dalam bentuk praktik. Dan keterampilan-keterampilan memukau yang ditampilkan para maestro berasal dari latihan yang berulang-ulang dari teori yang diperoleh.”

“Sederhananya?”

“Kalau sudah punya teori yang mumpuni, berlatihlah sesuai teori yang dipunyai supaya terampil. Atau kalau sudah terampil, belajarlah teorinya agar semakin kaya dan tidak sembarang.”

Belum juga nalarku mau berargumen lebih lanjut dengan naluriku, aku sudah sampai di rumah. Dan karena sudah lelah aku langsung beristirahat. Mereka pun ikut terlelap.

Yolis Y. A. Djami (Tilong-Kupang, NTT)
Kamis, 30 April 2020 (11.04 wita)

Comments

Popular posts from this blog

POIRHAQIE de KRISSIEN

BELAJAR = PEMAKSAAN PEMBIASAAN DIRI

TIDAK PAKE JUDUL