OJOL & TECOL

OJOL atau ojek online telah marak berkiprah satu dasawarsa belakangan ini. Transportasi daring ini dianggap lebih praktis, lebih murah bersahaja. Siapa pun yang ingin menggunakannya cukup mengambil telepon genggam mengontak operatornya dan kendaraannya sudah siap mengantar ke tujuan yang dikehendaki sesuai kesepakatan. Tak perlu membayar tunai karena mereka telah menerapkan sistem pembayaran daring pula. Jadi selesai transaksi baru kendaraannya datang. Ini sangat bertolak belakang dengan transportasi konvensional. Pengguna dan pengendara akan menentukan harga sesuai hasil tawar-menawar baru berangkat. Bayarnya pun setelah sampai tujuan dengan uang tunai.

Kondisi tawar menawar ini mengingatkan kita kembali ke era delapan puluhan saat lagu-lagu bersyair protes sosial bermunculan bag jamur di musim hujan. Satu nyanyian yang terdengar akan merangsang daya cipta dari pemusik lain untuk menelorkan komposisi kreatif positif konstruktif lain dengan aroma berbeda pula. Tujuannya hanya untuk menggugah harkat kemanusiaan anak bangsa agar membangun negeri ini dengan energi terpuji. Salah satunya adalah lagu kritik sosial yang dilontarkan Iwan Fals terhadap penguasa tak berperasa dengan penggalan syairnya: ”…Tawar menawar, harga pas tancap gas….”

Sedangkan TECOL atau teaching online adalah akronim iseng asal jadi hasil otak-atik otak dodol saya saja. Jadi jangan tersendat karena akronim sesat itu! Lewati saja. Teaching online diindonesiakan dengan mengajar daring, yaitu aktivitas mengajar dan belajar dengan berjejaring memanfaatkan teknologi informasi. Kegiatan pembelajaran tanpa tatap muka. Mengajar daring belum lama. Ia baru mau memasuki usia satu kwartal. Namun gaungnya dahsyat menggelora sampai ke pinggir Ibupertiwi yang terudik sekalipun.

Akibat wabah bedebah ini semua orang secara spontan memaksa diri melek teknologi informasi. Yang awalnya hanya mampu mengirim menerima SMS – surat menyurat singkat – kini telah memanfaatkan fitur-fitur canggih. Blessing in disguise. Di balik petaka ada tawa. Walau covid menghimpit gerak manusia, kreativitas nalar terus meretas.

Ini buktinya. Akibat akal gatal anak-anak nakal, OJOL & TECOL bukan lagi akronim untuk transportasi dan mengajar daring. Mereka memperkosa nama keren sepasang suami istri sesuai profesi masing-masing. Om Johannis Orlenz Lanfannu yang setiap harinya mencari nafkah dengan ojek daring mereka singkat menjadi OJOL. Sedangkan Tante Ezra Catharinna Oktora Ledeyae yang adalah guru esde mereka pendekkan dengan TECOL. Jadi mereka memanggil sang suami, OJOL dan sang istri, TECOL.

Bagi Tecol, stay at and work from home adalah anugerah terindah karena tidak perlu keluarkan tenaga besar dan waktu yang banyak ia tetap memperoleh penghasilan. Sebaliknya, istilah social and physical distancing merupakan musibah bagi Ojol karena dia tak bisa lagi membawa penumpang dengan membonceng di jok belakang motornya. Orderan sepi. Tidak ada pemasukan. Keberlangsungan hidup keluarga sepenuhnya berada di tangan istri. Oleh karenanya, demi menenangkan diri dan melupakan tragedi tragis yang mengikis harkat kelaki-lakiannya itu Ojol selalu keluar rumah tanpa tujuan.

Ia sering sendirian duduk bersandar atau berbaring di bawah pohon rindang dekat bendungan merenung. Itu menjadi tempat favoritnya. Sepi nan sejuk. Dua hari yang lalu ketika dia sedang berbaring beralaskan kedua telapak tangan yang disatukannya di bawah kepala dengan kaki kanannya terlipat menumpang di atas lutut kiri, teleponnya berdering. Belum sempat ia membuka mulut menyapa, suara yang karib baginya itu langsung memberondong dengan ultimatum. “Tidak usah pulang rumah lagi. Aku tak sudi berbaring dengan suami berkantong kering macam kamu!” Suara istrinya melengking membising di telinga. Belum juga otaknya mencerna kata-kata sakti itu, secara kejam istrinya telah mematikan telepon genggam tanpa salam.

Yolis Y. A. Djami (Tilong-Kupang, NTT)
Senin, 20 April 2020 (14.41 wita)

Comments

Popular posts from this blog

TEACHER

BERIRING

AKU ADA SEBAGAIMANA AKU ADA KARENA MEREKA ADA BAGIKU