JALAN SEPI BERLIKU
Ketika pergi dari dan
pulang ke rumah aku selalu melewati jalan ini. Jalan mendaki sepi nan berliku. Jalan
itu mendaki dan/atau menurun karena memang kontur tanah di Kupang begitu.
Tanjakan terjal dan/atau turunan menukik. Aku akan mendaki menanjak jalan
terjal itu jika pergi dan menurun menukik sekembalinya. Jalan itu sepi karena
belum ada penduduk. Hutan belukar bertebar bersebar membuat orang yang
melewatinya berdebar. Ia berliku karena meliuk di antara gunung.
Aku tidak harus melalui
jalan mendaki sepi nan berliku itu. Aku bisa melewati jalan lain. Tapi jalan
mendaki sepi nan berliku itu lebih mulus karena baru dibangun walaupun lebih
lama waktu tempuhnya. Sementara akses lainnya memang lebih dekat jaraknya,
tidak jauh tapi tidak utuh. Berlobang di kiri kanan aspal karena tergerus air
setiap musim hujan. Di ruas tertentu sisa aspalnya hanya selebar ban motor
dengan di sisi-sisinya lobang menganga. Deras air terus menggerus sekalipun
hanya dirus mengguyur karena di sepanjang jalan itu tidak ada salurannya.
Tidak ada got penampung, penyalur dan pembuang yang kata orang pintar di kota,
drainase.
Dengan alasan itulah
aku lebih memilih jalan mendaki sepi nan berliku. Tidak mengapa. Aku harus
memilih satu di antara dua atau di antara banyak. Semua pilihan memiliki
konsekwensi dan mengandung risiko sendiri. Jika memilih yang mulus, mendaki sepi nan berliku. Kalau memilih yang
singkat pintas, banyak lobang menganga. Jadi? Lalu? Sederhana! Jatuhkanlah
pilihan pada opsi dengan konsekwensi yang tidak masif, relatif, atau tipis sama
sekali.
Sama seperti
masa-masa sekarang. Corona menyerang, orang-orang tegang merana meregang nyawa.
Maka demi menahan corona biar tidak semakin merona, pemerintah menawarkan
penawar meskipun tawar hambar menyebalkan. Yaitu diam menyepi sendiri di rumah
dengan orang-orang terkasih dan tetap sehat di masa penantian panjang yang
entah kapan berujung. Ini diistilahkan dengan: Stay at and work or learn from home. Atau mau membandel dengan
keluar mengeluyur karena unsur bosan dan tidak kerasan lalu covid menjangkiti terus
mati. Pilihan yang sulit. Tapi harus memilih.
Demikian juga
kegiatan menulis di kelompok Belajar
Menulis Daring Gelombang Tujuh. “Menulislah
Setiap Hari dan Buktikan Apa yang Terjadi,” demikian saran Omjay dengan
mengutip judul bukunya sendiri hasil menulis setiap hari. Atau buah nalar Pak
Budiman Hakim yang membakarkobarkan semangat menulis perserta Belajar Menulis dengan kalimatnya: “Jangan tunggu ide datang baru menulis.
Menulislah maka ide datang.” Inipun pilihan dan tantangan. Mau menulis
tentang apa, bagaimana menulisnya, dari mana mulainya? Itu
pertanyaan-pertanyaan yang berkelindan berseliweran di benak saat awal
mengikuti pembelajaran menulis.
Kini, di penghujung
program berkualitas bermartabat ini dengan keterampilan menulis peserta semakin
lancar dan kian mengalir dengan pesan yang berbobot berdampak pun bukan berarti
telah bebas dari pilihan. Masih tetap ada pilihan. Pertama, menulis cepat dalam
waktu singkat seadanya sekadar memapar yang – kemungkinan – akan lenyap tak
berbekas. Atau yang kedua, menulis cerdas bernas cergas walau dalam kurun yang
lama seperti menapaki jalan mendaki sepi nan berliku yang ditempuh dalam waktu
panjang yang – barangkali – akan tetap membekas sampai batas hayat.
Jalan
menukik ditempuh pelan
Tatapan
mata lurus tak beralih
Memang
sulit tentukan pilihan
Tapi
tetap haruslah memilih
Yolis Y. A. Djami (Tilong-Kupang, NTT)
Senin, 27 April 2020 (13.13 wita)
Comments
Post a Comment