RUMAHKU, SEKOLAHKU!
Lingkungan
pendidikan yang paling menentukan pembentukan kepribadian anak adalah di rumah.
Karena anak menghabiskan waktu terbanyaknya di rumah. Sehingga rumah haruslah
menjadi tempat ideal untuk belajar. Dan bukan karena pandemi coronavirus ini
rumah menjadi tempat belajar. Sudah sejak awal dunia mengenal pendidikan, rumah
adalah tempat prioritas belajar. Dengan adanya Covid 19 semakin memperkokoh
kedudukan rumah sebagai tempat belajar utama dan ideal.
Rumah
menjadi tempat belajar ideal karena anak bisa belajar sambil bermain. Belajar
sambil bermain lebih menyenangkan karena suasananya rileks tidak menegangkan.
Belajar dalam suasana rileks tidak menegangkan akan memudahkan anak menerima
konsep-konsep pembelajaran tanpa beban tanpa paksaan. Yang diperlukan agar
tercipta suasana menyenangkan adalah kesabaran dan kerelaan orangtua
mendampingi putra putrinya belajar.
Ijinkan
saya menceritakan kembali kejadian yang telah berlangsung puluhan tahun lalu
tetapi menurut saya masih cocok diterapkan. Ini saya alami secara tidak sengaja
tetapi hasilnya menakjubkan. Begini!
Suatu
sore sepulang mengajar saya merasa lelah yang teramat sangat. Maka saya
mengambil tikar dan menggelar di lantai lalu rebahan dengan harapan bisa
tertidur. Tak dinyana Rommy, anak bungsu saya yang masih berumur hampir dua
tahun menghampiri mengajak bermain bersamanya. Dia menebar mainannya yang
berwarna warni yang terdiri dari huruf, angka dan lain-lain. Semuanya
berserakan di lantai dekat saya berbaring. Demi menyenangkan hatinya dan
berharap dia bisa bermain sendiri membiarkan saya beristirahat sesudahnya.
Saya
pun bangun duduk bersila di atas tikar sambil menunjukkan dan memberitahukan
kepadanya huruf atau angka apa saja sekaligus warnanya. Saya ambil huruf lalu
menyusunnya rapi secara berjejer berurut mulai dari A sampai Z. Kemudian saya
ambil satu-satu hurufnya dan bilang: “A. Warnanya merah. B, hijau. C, kuning.
D, ungu. E, biru. F, coklat. Dan seterusnya sampai selesai.” Begitu pun dengan
angka-angka saya lakukan hal yang sama. Sesudah itu saya katakan padanya agar
bermain sendiri supaya saya bisa berisitrahat. “Sudah. Bung main sendiri, ya.
Papa cape. Papa mau tidur sebentar.” Dia menuruti kata saya bermain sendiri dengan
senang. Dalam pikiran saya, syukurlah saya bisa beristirahat dengan tenang
tanpa diganggu lagi. Dan saya lupakan.
Besoknya,
ketika sampai di rumah sehabis mengajar dia sudah mengajak sebelum saya berniat
menggelar tikar. Tapi caranya mengajak berbeda. Ia datang dengan mainannya
masih dalam tempatnya tertutup rapi. Tidak terbuka. Sebuah ajakan yang membuat
saya terperangah. Dengan semangat, ia bilang: “Pa, ayo belajar lagi.”
Kata-katanya ini mengusik naluri keguruan saya. Tapi tidak terbersit di pikiran
saya untuk mengajar layaknya anak-anak di sekolah. Saya lakukan hanya sebatas
agar dia paham dan nantinya bermain sendiri tanpa merepotkan lagi. Kami ulangi
permainan yang sama.
Setelah
sekian kali belajar bermain seperti itu, saya tantang dia. Cara saya
menantangnya adalah dengan mengacak semua huruf dan angka berserak serampangan
di lantai. Kemudian saya memintanya mengambil huruf atau angka yang saya sebut.
Terkadang saya hanya sebut dan meminta warna tertentu. Ternyata dia mampu
sekalipun ada kesalahan-kesalahan yang dibuat. Tidak masalah. Toh, saya hanya
bermain bukan belajar sungguhan.
Pada
suatu kesempatan kami berkunjung ke rumah teman yang kebetulan guru juga
sehingga perlengkapan baca tulisnya tertata di atas meja. Ada Koran, buku,
kertas, pensil, bolpen, spidol dan lain-lain. Layaknya anak-anak, dia bermain
apa saja yang menggugah. Sedangkan kami sebagai orangtua pun sibuk dengan
mengobrolkan apa saja. Setelah bosan bermain, ia datang di samping saya yang
sedang berbincang dengan tuan rumah. Tanpa ragu dia mengambil bolpen dan kertas
yang ada di atas meja lalu menulis. Lalu dengan bangga dia menunjukkannya pada
saya, katanya: “ Papa, L.” Wow, kami memujinya atas prestasi itu. Padahal saya
belum pernah mengajarkannya cara menulis. Sekali lagi, naluri keguruan saya
berkata, dia mau belajar.
Karenanya,
saya membuatkan kata-kata sederhana lalu menempelkannya di kartu remi yang saya
robek gambarnya. Kata-kata seperti: Papa, mama, bola, mata, kaki dan
seterusnya. Cara bermainnya, saya membuka selembar lalu membacakannya dan dia
mengikuti tanpa mengeja. Begitu seterusnya berulang-ulang sampai katam. Demi
mengetahui daya tangkapnya, saya memberi tantangan. Saya mengocok layaknya
orang bermain kartu lalu membanting satu-satu di lantai sambil bertanya apa isi
tulisannya.
“Ini
gimana bacanya?”
“Kaki,”
jawabnya tegas.
“Yang
in?”
“Bola,”
ucapnya lancar lantang. Demikian seterusnya hari demi hari. Sampai suatu ketika kami
berkunjung kedua kalinya ke teman di mana dia mampu menuliskan huruf ‘L.’
Ketika
kami sedang duduk di dalam kendaraan umum, dia melihat dan menunjukkan sebuah
rekalame besar sambil membaca tulisannya, katanya: “Papa, Nuvo.” Wow, luar
biasa. Saya bangga dibuatnya. Sesudah tiba di rumah teman ini, dia diajak main
oleh kakak-kakaknya, anak yang punya rumah. Mungkin karena bosan, dia menghampiri
saya di ruang tamu. Tanpa disangka dia melafalkan nama koran langganan teman
ini dengan jelas tanpa mengeja terbata. “Papa, Kompas,” katanya. Teman dan
istrinya ikut kagum tak percaya. Lalu temanku mengujinya dengan menunjuk
beberapa kata sederhana, dan dibacanya dengan lancar tanpa hambatan.
Dari
pengalaman ini, saya meminjam buku-buku cerita anak-anak yang di setiap
halamannya hanya berisi satu atau dua kalimat dengan ilustrasi gambar yang
menarik. Demikian seterusnya. Hasilnya, ketika berusia empat tahun setengah dia
telah mampu membaca Alkitab setiap hari walaupun hanya satu perikop.
Oleh
karena itu, belajar di rumah akibat corona menyerang seperti sekarang bukanlah musibah
malah anugerah. Sebab sesungguhnya pola belajar yang paling efektif itu berawal
dari rumah.
Selamat merayakan Hari Pendidikan
Nasional!
Yolis Y. A. Djami (Tilong-Kupang, NTT)
Sabtu, 2 Mei 2020 (10.01 wita)
mantap om yolis
ReplyDeleteTerima kasih, Mr. Ged Polo.
Deletemantul peserta 33
ReplyDeleteTerima kasih, Omjay!
DeleteKereeennn. Salam dr blogger Sumba Tengah.
ReplyDeleteTerima kasih, Bu Theresia. Salam kenal juga Dari Tilong.
Delete